Tomi Paulus : Pelita Damar Literasi yang Menyala di ITKK
Oleh Mikael anak Rurut, M.H
Namanya jelas mencerminkan seorang Katolik.
Paulus menitis "darah rasul"—bukan hanya mewarisi semangat pewartaan,
tetapi juga kemampuan menulis, seperti surat-surat kepada Filemon dan Titus, maupun
peneguhan iman bagi jemaat awal. Tomi Paulus pun, menulis.
Sehabis gelap, terbitlah sebuah cahaya.
Dari lorong kampus kecil di pelosok Kalimantan Barat, lahir sebuah novel yang
menggetarkan kalangan akademisi dan penikmat sastra muda: Pelita Damar.
Di Institut Teknologi Keling Kumang (ITKK),
kampus yang bertumbuh dari rahim gerakan koperasi masyarakat adat, sebuah
peristiwa penting terjadi. Seorang mahasiswa semester enam Prodi Kewirausahaan,
Tomi Paulus, berhasil menerbitkan karya sastra monumental setebal 300 halaman.
Bukan sekadar buku, melainkan wujud nyata dari semangat pantang menyerah dan
ketekunan seorang anak kampung dalam menjemput mimpi.
Tomi Paulus menamatkan pendidikan
menengahnya di SMK Keling Kumang. Ia berasal dari kampung Sungai Gontin,
Menterap—daerah yang jauh dari hiruk pikuk kota, namun kaya akan alam dan
nilai-nilai hidup Dayak. Dari tanah inilah ia mengakar dan menyerap nilai, lalu
menulis. Ia bekerja harian di Taman Kelempiau, sebuah taman edukasi dan
konservasi di Sekadau. Tempat ini bukan hanya menjadi sumber penghidupan,
tetapi juga ladang inspirasi yang terus menyala.
Hari-harinya dipenuhi kesibukan. Pagi
bekerja, sore kuliah, malam menulis. Dari rutinitas itulah Pelita Damar
lahir, menyajikan kisah penuh emosi dan harapan, merangkul pembacanya dengan
narasi yang jujur dan menyentuh. Tak heran, buku ini menyita perhatian tak
hanya di lingkungan kampus, tapi juga di lingkaran sastrawan dan akademisi.
Masri Sareb Putra, Kepala Pusat Penelitian
dan Pengabdian kepada Masyarakat ITKK sekaligus sastrawan Angkatan 2000 dalam
khazanah Sastra Indonesia, menyebut Pelita Damar sebagai karya debut
yang layak dicatat. "Bukan sekadar novel, ini adalah suluh kecil dari
sebuah gerakan literasi yang lebih besar—yang berakar kuat dalam semangat CU
Keling Kumang,” ujarnya.
Baginya, karya Tomi adalah representasi
dari energi intelektual baru yang tumbuh dari pinggiran. Sebuah fenomena yang
mengingatkan bahwa perubahan sosial dan kultural bisa datang dari desa, bukan
hanya dari pusat kota.
Apresiasi pun datang dari Munaldus—tokoh
koperasi nasional yang dikenal juga dengan nama Liu Ban Fo. Ia adalah salah
satu pendiri Credit Union Keling Kumang dan penulis yang sudah melahirkan
banyak buku. “Saya merasa bangga. Usia muda tak menjadi halangan untuk
berkontribusi besar dalam dunia menulis,” kata Munaldus saat peluncuran buku
tersebut.
Kisah Tomi Paulus membentangkan satu pesan
kuat: bahwa ketekunan, semangat belajar, dan keberanian untuk bermimpi adalah
bahan bakar utama untuk meraih apa yang semula tampak mustahil. Dari hutan
Kalimantan, dari riuh sunyi Sungai Gontin, dari bangku kuliah kecil di
Sekadau—lahirlah suara muda yang menulis bukan hanya dengan pena, tapi juga
dengan jiwa.
Bahwa siapa pun, dari latar belakang mana
pun, bisa berkarya. Bisa menjadi agen perubahan. Dan bisa menyalakan pelita di
tengah kegelapan zaman.
Tomi Paulus agaknya punya habitus
menulis dari senior dan para pendiri ITKK. Tahun 2024, sivitas akademika ITKK
mendapat rekor MURI atas terbitnya 70 buku ber-ISBN. Lingkungan kampus yang di
bawah naungan Yayasan Pendidikan Keling Kumang, hasil didikan para pastor,
suster, dan misionaris Kongregasi Passionis (CP) membuat Tomi bagai perumpamaan
penabur dalam Injil tentang bibit gandum yang jatuh di tanah yang subur.
Dari sinilah ia tumbuh bukan hanya sebagai
mahasiswa, tetapi sebagai penulis muda yang sadar akan kekuatan literasi
sebagai alat pembebasan. Di ITKK, menulis bukan hanya aktivitas individual,
tetapi gerakan kolektif yang terhubung dengan akar budaya, iman, dan pemberdayaan
masyarakat. Tomi menjadi bagian dari generasi baru yang tidak sekadar membaca
sejarah, tetapi menulis dan menggubahnya kembali dengan perspektif dari dalam.
Oleh sebab itu, kemanusiaan, pemberdayaan,
selain kedayakan; menjadi topik novel-novel Tomi. Novelnya yang terkini
berjudul Cinta dalam Genggaman Darah Purifikasi yang diterbitkan Lembaga
Literasi Dayak.
Karya ini mempertegas arah kepenulisan
Tomi: berpihak pada yang kecil, yang sunyi, dan yang tersingkir, yaitu orang-orang yang selalu mendapat perhatian khusus dari Yesus. Ia
menghadirkan suara yang jernih dari pedalaman Kalimantan—bukan sekadar untuk
dibaca, tetapi untuk didengar dan direnungkan. Bahwa dari kampung, dari lorong
kampus kecil, bisa lahir suara yang menggema jauh, membongkar narasi lama, dan
menulis ulang masa depan.
Dalam dunia yang diliputi kegelapan,
ketidakadilan, kemiskinan, keterpinggiran, Tomi tak memilih untuk mengutuk
gelap itu. Ia tidak sibuk mengeluh atau menyalahkan keadaan. Sebaliknya, ia
berusaha menyalakan pelita, meski bukan dengan minyak, melainkan dengan damar,
bahan sederhana yang ia temui di tanah kelahirannya, Kalimantan. Sebagai umat Katolik, ia ingat ajaran Yesus yaitu,"Jadilah garam dan terang.".
Damar menjadi metafora dari apa yang ia
miliki, pengetahuan lokal, pengalaman hidup, iman, dan kata-kata. Ia
menyalakannya dengan tulisan, dengan kalimat-kalimat yang bersumber dari luka,
cinta, dan harapan. Ia sadar, dalam keterbatasan justru ada kekuatan. Dari
kegelapan itulah nyala kecil bisa tampak lebih terang, dan dari lorong sunyi
itulah suara tulus bisa menggugah.
Seperti nasihat dalam Injil agar setiap
orang Kristen menjadi terang dunia, Tomi menghidupi pesan itu bukan dengan
berkhotbah, tetapi dengan berkarya. Ia merajut kebaikan di mana pun ia
berpijak, di kampus, di tempat kerja, di kampung halaman, bahkan di
halaman-halaman bukunya. Menjadi terang baginya berarti hadir dengan kejujuran,
ketekunan, dan keberanian untuk memperjuangkan yang benar.
Dalam novel-novelnya, Tomi tidak memoles kenyataan, tetapi justru menelanjangi kenyataan itu agar pembaca dapat melihat apa yang kerap diabaikan, kemanusiaan yang retak, harapan yang nyaris padam, dan cinta yang tetap menyala meski tertatih. Ia tidak menunggu perubahan, tapi menjadi bagian dari perubahan itu sendiri, dengan pelita kecil yang ia jaga agar tetap hidup di tengah angin zaman.
0 Komentar