Fenomena Gereja Paroki dan Stasi di Kalimantan Barat: Dari Gereja Sederhana yang Ramai hingga Gereja Megah yang Sepi

 

Dari Gereja Sederhana yang Ramai hingga Gereja Megah yang Sepi
Gereja Katedral, Pontianak: Lebih baik gedung gereja sederhana tapi penuh daripada megah tapi kosong. Dok. Eremespe.

Oleh Fidelis Sputra, S.Pd.

Di berbagai wilayah Kalimantan Barat, fenomena menarik tengah terjadi dalam kehidupan umat Katolik: gereja-gereja paroki dan stasi yang dulunya sederhana dan ramai kini berubah menjadi bangunan megah yang cenderung sepi.

Agaknya, fenomena ini perlu segera ditangani dengan serius karena mencerminkan pergeseran nilai spiritual di tengah masyarakat. Hedonisme yang mengguncang, kecenderungan memanfaatkan hari Minggu untuk bekerja demi uang, serta godaan mengganti kehadiran fisik di gereja dengan ibadah daring; semuanya menuntut solusi yang bijak dan pastoral. 

Hierarki Gereja di Kalimantan Barat, biarawan/wati, serta awam Katolik, patut segera menjawabnya. Sebab jika tidak, bisa dipastikan Gereja Kalimantan Barat yang selama ini dibangga-banggakan bisa bernasib seperti di Eropa: gedungnya megah, tetapi kosong, bahkan beberapa berubah jadi museum. Ironis!

Transformasi Sosial: Gereja Besar, Umat Berkurang

Pada era 1990-an, banyak gereja kecil di pedalaman Kalimantan Barat, dibangun dari kayu dan beratap seng, dipenuhi umat yang antusias menghadiri misa dan kegiatan rohani. Dalam kondisi sederhana, kehidupan iman justru tumbuh subur. Gereja bukan hanya tempat ibadah, tetapi menjadi pusat spiritualitas dan komunitas.

Namun, seiring perkembangan zaman, gereja-gereja itu direnovasi atau dibangun ulang menjadi bangunan megah; berbahan beton, dilengkapi menara tinggi, dan fasilitas modern. Ironisnya, bangunan yang lebih besar justru tidak diimbangi oleh kehadiran umat yang signifikan. Banyak gereja kini tampak kosong, bahkan saat perayaan besar.

Mengapa Gereja Sepi? Ini 5 Faktor Penyebabnya

  1. Perubahan Gaya Hidup dan Minat Generasi Muda
    Generasi muda lebih tertarik pada hiburan digital, media sosial, dan aktivitas luar gereja. Gereja dianggap kaku dan kurang relevan.
  2. Pelayanan Kurang Personal dan Tidak Kontekstual
    Gereja megah belum tentu menyentuh hati. Umat merindukan pendekatan yang akrab, hangat, dan menyatu dengan realitas hidup mereka.
  3. Aksesibilitas dan Kondisi Ekonomi
    Umat di desa-desa terpencil sulit menjangkau gereja besar. Transportasi, jarak, dan biaya menjadi tantangan tersendiri.
  4. Tantangan Sosial dan Budaya Baru
    Gereja harus bersaing dengan berbagai bentuk aktivitas lain di masyarakat yang kini lebih menarik perhatian.
  5. Kurangnya Inovasi Pelayanan
    Banyak gereja belum memanfaatkan potensi teknologi atau belum menyediakan kegiatan yang relevan dengan kebutuhan umat modern.

Gereja Harus Adaptif, Relevan, dan Inklusif

Untuk menjawab tantangan ini, gereja perlu:

  1. Memanfaatkan Teknologi Digital
    Gunakan media sosial, live streaming misa, aplikasi rohani, dan platform digital lainnya untuk menjangkau umat, terutama generasi muda dan umat di daerah terpencil.
  2. Mengembangkan Pelayanan yang Personal dan Inklusif
    Pendekatan berbasis komunitas kecil, bimbingan pastoral yang intens, dan kegiatan berbasis realita hidup umat menjadi kunci.
  3. Mengadakan Kegiatan Kreatif dan Interaktif
    Seminar, diskusi iman, pelayanan sosial, hingga pelatihan hidup sehat dan pengembangan diri akan menarik lebih banyak partisipasi.
  4. Menjadikan Gereja sebagai Ruang Sosial dan Harapan
    Gereja harus hadir sebagai ruang terbuka; tempat berbagi, berdialog, dan menemukan makna hidup, bukan hanya tempat ritual.

Gereja Perlu Bertumbuh Bersama Zaman

Fenomena gereja kosong bukan hanya terjadi di Kalimantan Barat, tetapi juga di banyak tempat di dunia. Gereja harus berbenah dan membuka diri terhadap dinamika zaman. Fokus bukan hanya pada pembangunan fisik, melainkan pembangunan relasi dan spiritualitas umat.

Dengan pendekatan baru yang adaptif, gereja akan tetap menjadi tempat yang hidup, relevan, dan menginspirasi bagi seluruh umat baik di kota maupun di pedalaman, tua maupun muda, generasi masa lalu maupun masa depan.

Penulis adalah seorang guru SMP terpencil di pedalaman Kalimantan Barat, pengamat pendidikan, dan seorang guru yang menulis dan menerbitkan buku-buku pendidikan. 

0 Komentar

Type above and press Enter to search.