Teologi Alkitabiah Katolik: Sistematis, Detail, Dapat Dibuktikan, dan Historis
Teologi Katolik dibangun di atas fondasi kuat seperti Katekismus yang kuat fondasi imannya dan rasional. Ilustrasi by Grok. |
Oleh Dr. RD Laurentius Prasetyo
Teologi Katolik dibangun di atas fondasi kuat seperti
Katekismus Gereja Katolik, karya Thomas Aquinas, serta Tradisi Suci Gereja yang
hidup. Doktrin Katolik, yang ditopang oleh filsafat dan iman, bersumber dari
referensi teologis yang otoritatif dan menjadi warisan iman yang lestari
sepanjang zaman.
Secara akademik, Teologi Alkitabiah Katolik merupakan
pendekatan terstruktur untuk memahami iman Kristen berdasarkan Kitab Suci,
Tradisi Suci, dan Magisterium Gereja. Karakteristiknya yang sistematis,
mendalam, dapat diverifikasi secara eksternal, dan historis menjadikannya
landasan kokoh bagi umat Katolik dalam membangun pemahaman tentang relasi
dengan Allah.
Tulisan ini menguraikan keempat karakteristik tersebut
dengan merujuk pada sumber-sumber otoritatif yang telah diverifikasi,
memastikan keakuratan dan kedalaman teologis.
1. Sistematis
Teologi alkitabiah Katolik memiliki struktur yang
terorganisir, memungkinkan ajaran iman disusun secara logis dan koheren.
Pendekatan ini terlihat jelas dalam Kateksimus Gereja Katolik (KGK),
dokumen resmi yang diterbitkan pada 1992 di bawah Paus Yohanes Paulus II. KGK
mengelompokkan ajaran Katolik ke dalam empat pilar: Pengakuan Iman, Perayaan
Misteri Kristiani (Sakramen), Kehidupan dalam Kristus (Moral), dan Doa
Kristiani (KGK, par. 11–12). Struktur ini memastikan bahwa setiap aspek iman
saling terhubung, dengan Kitab Suci sebagai dasar utama yang diinterpretasikan
melalui Tradisi dan Magisterium.
Contoh lain dari pendekatan sistematis adalah karya Summa
Theologica karya Santo Tomas Aquinas (1225–1274). Aquinas menggunakan
metode skolastik, mengajukan pertanyaan, keberatan, dan jawaban yang berdasar
pada Alkitab, Tradisi, dan akal budi. Misalnya, dalam pembahasan tentang
keberadaan Allah, ia menyusun argumen secara logis melalui “lima jalan” (causa
prima, causa efficiens, dll.) (Summa Theologica, I, Q. 2, Art. 3).
Pendekatan ini memungkinkan teologi Katolik menjadi terstruktur dan mudah
diakses.
2. Detail
Teologi Katolik dikenal karena kedalaman analisisnya
terhadap misteri iman. Doktrin Ekaristi, misalnya, diuraikan secara rinci dalam
KGK (par. 1322–1419), menjelaskan konsep transubstansiasi—perubahan hakiki roti
dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus—berdasarkan Yohanes 6:51–58 dan 1
Korintus 11:23–25. Konsili Trento (1545–1563) memperjelas doktrin ini,
menyatakan bahwa Ekaristi adalah kehadiran nyata Kristus (Denzinger, 2012, no.
1638). Penjelasan ini menggunakan konsep filosofis Aristoteles tentang substansi
dan aksiden, yang diadopsi oleh Aquinas untuk menjelaskan misteri ini.
Doktrin Trinitas, yang ditegaskan dalam Konsili Nicea (325
M) dan Konstantinopel I (381 M), juga diuraikan dengan presisi untuk
menjelaskan tiga Pribadi dalam satu Allah (KGK, par. 232–267). Konsili Kalkedon
(451 M) merumuskan doktrin Inkarnasi, menyatakan bahwa Yesus memiliki dua
kodrat (ilahi dan manusiawi) dalam satu Pribadi (Denzinger, 2012, no. 301).
Setiap doktrin didukung oleh penafsiran Alkitab yang mendalam, refleksi
teologis, dan keputusan konsili yang terdokumentasi.
3. Dapat Dibuktikan di Luar Dirinya
Teologi Katolik tidak hanya bertumpu pada iman, tetapi juga
akal budi dan bukti eksternal. Dalam apologetik, Aquinas menggunakan argumen
filosofis, seperti “lima jalan” untuk membuktikan keberadaan Allah, yang
didasarkan pada pengamatan dunia dan logika (Summa Theologica, I, Q. 2,
Art. 3). Argumen ini menunjukkan bahwa teologi Katolik berupaya menjembatani
iman dan akal.
Bukti historis juga digunakan untuk memperkuat keandalan
Alkitab. Manuskrip seperti Codex Sinaiticus dan Codex
Vaticanus (abad ke-4) menunjukkan konsistensi teks Perjanjian Baru
(Metzger & Ehrman, 2005). Penemuan arkeologi, seperti kolam Betesda
(Yohanes 5:2) di Yerusalem, mendukung konteks historis narasi Alkitab. Tulisan
para Bapa Gereja, seperti De Civitate Dei karya Santo
Agustinus (426 M), memberikan kesaksian awal tentang keimanan Kristen,
memperkuat kontinuitas doktrin.
4. Historis
Teologi Katolik berpijak pada Tradisi Suci, yang mencakup
ajaran para Bapa Gereja, konsili ekumenis, dan perkembangan doktrin selama dua
milenium. Suksesi apostolik, yang menelusuri otoritas uskup hingga para rasul,
adalah pilar utama (KGK, par. 77–79). Konsili Hippo (393 M) dan Kartago (397 M)
menetapkan kanon Kitab Suci, memastikan otentisitas Alkitab (Bruce, 1988).
Liturgi Katolik, seperti Misa Romawi, mencerminkan dimensi
historis. Santo Yustinus Martir dalam Apologia Prima (ca. 155
M) mendokumentasikan praktik liturgi awal, termasuk pembacaan “memoirs of the
apostles” (Injil) dan Perjamuan Kudus pada hari Minggu (Yustinus, 1885, 1 Apol.
67.3). Konsili Efesus (431 M) menetapkan Maria sebagai Theotokos,
menunjukkan perkembangan doktrin melalui refleksi historis (Denzinger, 2012,
no. 250).
Katekismus Gereja Katolik (KGK) sebagai Masterpiece
Teologi Alkitabiah Katolik menawarkan pendekatan yang
sistematis dan menyeluruh dalam memahami iman Kristiani. Pendekatan ini tidak
dibangun secara serampangan, melainkan disusun dalam kerangka yang logis dan
terstruktur, sebagaimana tercermin dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK)
dan karya-karya besar seperti Summa Theologiae dari Santo
Thomas Aquinas.
Teologi Katolik tidak hanya menjabarkan apa yang diyakini,
tetapi juga menjelaskan mengapa hal itu diyakini, dengan argumentasi yang
bersumber dari Kitab Suci, akal budi (filsafat), serta Tradisi Suci Gereja. Ini
menjadikan teologi Katolik tidak bersifat spekulatif semata, melainkan dapat
ditelusuri akar historis dan rasionalitasnya secara kritis dan mendalam.
Penjelasan-penjelasan doktrin dalam tradisi Katolik didukung
oleh bukti filosofis dan historis yang kuat, memperlihatkan kesinambungan iman
dari para rasul hingga masa kini. Sumber-sumber teologis Katolik, seperti
tulisan para Bapa Gereja, dokumen Konsili, dan ensiklik Paus, menjadi acuan
utama yang otoritatif.
Melalui verifikasi pustaka yang ketat dan metodologi
akademik yang mapan, teologi Katolik menunjukkan bahwa iman bukan sekadar
pengalaman pribadi, melainkan warisan intelektual dan spiritual yang dapat
diuji dan dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, kekayaan teologi Katolik
bukan hanya menjadi dasar iman yang hidup, tetapi juga menjadi warisan
peradaban yang relevan sepanjang zaman.
Penulis adalah dosen di Sekolah Tinggi Agama Katolik
Negeri, Pontianak. Baru menulis dan menerbitkan 5 buku berISBN, antara lain Injil Yohanes dalam Konteks Masa Kini.
Daftar Pustaka
- Aquinas,
T. (1947). Summa Theologica (Terjemahan oleh Fathers of
the English Dominican Province). Benziger Bros. Tersedia di:
http://www.newadvent.org/summa/
- Bruce,
F. F. (1988). The Canon of Scripture. InterVarsity Press.
- Denzinger,
H. (2012). Enchiridion Symbolorum: A Compendium of Creeds,
Definitions, and Declarations of the Catholic Church. Ignatius Press.
- Gereja
Katolik. (1992). Kateksimus Gereja Katolik. Libreria Editrice
Vaticana. Tersedia di:
http://www.vatican.va/archive/catechism_ccc/index_id.htm
- Metzger,
B. M., & Ehrman, B. D. (2005). The Text of the New Testament:
Its Transmission, Corruption, and Restoration. Oxford University
Press.
- Yustinus
Martir. (1885). Apologia Prima (Terjemahan oleh Philip
Schaff). Christian Literature Publishing Co. Tersedia di:
http://www.ccel.org/ccel/schaff/anf01
- Agustinus.
(1950). De Civitate Dei (Terjemahan oleh Marcus Dods).
Modern Library.
0 Komentar