Gereja Mula-Mula: Belajar dari Model Jemaat Awal dalam Kisah Para Rasul

 

Gereja Mula-Mula dan Praktik Koinonia
Ilustrasi gaya hidup jemaat awal yang penuh kasih. Gambar: Google AI Studio

Oleh Masri Sareb Putra

Pelajari model komunitas jemaat awal dalam Kisah Para Rasul: doa, persekutuan, dan pelayanan—the core dari Gereja Mula-Mula.

Gereja mula-mula, yang muncul sejak Pentakosta sekitar tahun 30 Masehi, dikenal sebagai model ideal praktik koinonia, istilah Yunani untuk persekutuan, kebersamaan, dan berbagi dalam kasih. Koinonia mencerminkan gaya hidup jemaat awal yang penuh kasih, sebagaimana digambarkan dalam Kisah Para Rasul 2:42-47.

Jemaat Yerusalem setia pada ajaran rasul, berdoa, memecahkan roti, dan berbagi harta untuk memenuhi kebutuhan bersama. Kehidupan mereka menarik banyak orang karena teladan kasih dan solidaritas.

Kehidupan Komunal dan Berbagi

Kehidupan komunal menjadi inti koinonia gereja mula-mula. Sejarah gereja atau Jemaat awal, yang dimulai dari 120 orang pada Pentakosta (Kisah Para Rasul 1:15), bertumbuh menjadi ribuan setelah khotbah Petrus (Kisah Para Rasul 2:41). Mereka berkumpul di "gereja rumah" untuk beribadah, berdoa, dan merayakan Perjamuan Kudus.

Praktik berbagi harta benda terlihat jelas dalam Kisah Para Rasul 4:32-35, di mana tidak ada yang menganggap harta sebagai milik pribadi. Hasil penjualan tanah atau rumah diserahkan kepada rasul untuk membantu yang miskin, sehingga "tidak ada yang berkekurangan." Contohnya, Barnabas menjual ladangnya untuk kebutuhan jemaat (Kisah Para Rasul 4:36-37).

Berbagi ini bersifat sukarela, mencerminkan kasih Kristus (Yohanes 13:34-35). Namun, kisah Ananias dan Safira (Kisah Para Rasul 5:1-11) menunjukkan bahwa kemunafikan bertentangan dengan semangat koinonia. Infrastruktur Kekaisaran Romawi, seperti jalan dan Pax Romana, memfasilitasi penyebaran Injil oleh misionaris seperti Paulus, memperluas koinonia ke wilayah non-Yahudi seperti Antiokhia dan Efesus. Kehidupan komunal ini memperkuat jemaat di tengah penganiayaan dan keterbatasan ekonomi, sekaligus menjadi daya tarik bagi orang luar.

Dimensi Spiritual Persekutuan

Koinonia tidak hanya soal berbagi materi, tetapi juga dimensi spiritual. Jemaat mula-mula bertekun dalam ajaran rasul, yang berfokus pada kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus. Mereka mempelajari Perjanjian Lama dan ajaran Yesus melalui tradisi lisan. Pembaptisan dan Perjamuan Kudus (1 Korintus 11:23-25) menjadi praktik sentral yang memperkuat identitas rohani. Doa bersama, seperti sebelum Pentakosta (Kisah Para Rasul 1:14) atau saat penganiayaan (Kisah Para Rasul 4:24-31), menghasilkan kesatuan dan keberanian.

Pimpinan rohani seperti Petrus, Yakobus, dan Paulus menjaga kesatuan spiritual. Konsili Yerusalem (tahun 50 Masehi) menyelesaikan konflik antara orang Yahudi dan non-Yahudi tentang hukum Taurat (Kisah Para Rasul 15:1-29), menegaskan bahwa iman kepada Kristus adalah inti koinonia. Keputusan ini membuat Kekristenan lebih inklusif, memperluas persekutuan ke berbagai budaya. Saling mendukung secara emosional, seperti saat kemartiran Stefanus (Kisah Para Rasul 8:1-2), juga memperkuat ikatan rohani jemaat.

Dampak dan Tantangan Koinonia

Koinonia berdampak besar pada pertumbuhan gereja mula-mula. Kisah Para Rasul 2:47 mencatat bahwa jemaat "disukai semua orang," dan Tuhan menambahkan jumlah mereka setiap hari.

Di Antiokhia, koinonia menghasilkan penamaan "Kristen" (Kisah Para Rasul 11:26), menandakan identitas baru. Solidaritas mereka membantu jemaat bertahan dari penganiayaan, seperti di bawah Kaisar Nero (tahun 64 Masehi). Namun, tantangan seperti konflik internal antara Yahudi dan non-Yahudi, ajaran sesat seperti Gnostisisme, dan penganiayaan eksternal menguji kesatuan. Konsili Yerusalem menunjukkan bagaimana dialog menjaga koinonia.

Model koinonia gereja mula-mula tetap relevan bagi gereja modern. Dengan meneladani semangat berbagi, kasih, dan persekutuan, gereja masa kini dapat menjadi saksi Kristus di dunia yang terpecah. Koinonia mengajarkan bahwa iman sejati diwujudkan melalui tindakan nyata demi kebaikan bersama.

 Sumber: 

Kisah Para Rasul 2:42-47, 4:32-37, 15:1-29, Perjanjian Baru; Sejarah Kekristenan, Wikipedia bahasa Indonesia; Buletin PILLAR, Gereja Mula-Mula; SESAWI.NET, Saat Pertama Kali Kami Disebut Kristen.

0 Komentar

Type above and press Enter to search.