Yesus Army di Krayan: Iman yang Hidup di Antara Kabut Pegunungan
"Yesus Army": saksi Yesus yang hidup.di Krayan, Dataran Tinggi Borneo. Dok. Penulis. |
Angin gunung bertiup pelan di dataran tinggi Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.
Udara sejuk Dataran Tinggi Borneo mengalir dari celah-celah dinding papan sebuah rumah makan sederhana, namun nyaman, "Kapan Lagi" di Long Bawan.
Di tengah riuh senyap siang itu, perhatian saya tertumbuk pada
seorang pria Dayak Lundayeh yang duduk berdua dengan seorang kawannya. Mereka menyantap makan siangnya dengan
tenang.
Punggungnya menghadap ke arah saya. Namun satu hal langsung
mencuri perhatian: tulisan besar berwarna hitam yang tercetak di kaus putihnya,
“Yesus Army.”
Bukan hal asing melihat ekspresi iman di wilayah terpencil
ini. Namun, tulisan itu menyimpan daya kejut. Di kota-kota besar, frasa seperti
itu mungkin hanya sekilas dibaca dan lekas dilupakan. Tetapi di Krayan, yang
letaknya berbatasan langsung dengan Malaysia, setiap ungkapan iman adalah gema
sejarah panjang dan perjalanan budaya yang dalam.
Kata-kata itu bukan sekadar hiasan busana. Ia adalah pernyataan, bahkan kesaksian. Sebuah penegasan bahwa di sini, di pegunungan sunyi, hidup satu generasi yang tidak malu menyebut dirinya sebagai bagian dari “tentara Yesus.”
Dari Presswood ke Balang: Jejak Misi yang Mengakar
Wilayah Krayan dikenal luas sebagai salah satu kawasan di
Kalimantan yang mayoritas penduduknya memeluk agama Kristen. Diperkirakan lebih
dari 95 persen warganya adalah Kristen Protestan, mayoritas berasal dari suku
Lundayeh. Keberadaan agama ini bukan hadir secara kebetulan, melainkan bagian
dari perjalanan panjang misi penginjilan sejak lebih dari sembilan dekade
silam.
Pada awal 1930-an, seorang misionaris bernama Presswood
menembus belantara Borneo untuk menjangkau komunitas-komunitas pedalaman. Ia
tak hanya membawa kitab suci, tetapi juga memperkenalkan cara hidup baru yang
perlahan diterima oleh masyarakat lokal. Presswood belajar bahasa Lundayeh,
tinggal bersama mereka, mengobati yang sakit, dan ikut menanam padi. Injil
disampaikan bukan lewat ceramah, melainkan melalui keteladanan.
Pengaruhnya tak hanya terlihat dalam ritus keagamaan, tetapi
juga pada cara berpikir, pola hidup, hingga sistem nilai masyarakat.
Kekristenan di Krayan bukan sekadar kepercayaan yang diwariskan turun-temurun,
melainkan telah menjadi bagian dari identitas kultural.
Kaus Putih dan Keyakinan: Identitas yang Dikenakan
Laki-laki berkemeja kaus putih itu bernama Balang. Ia
tersenyum saat saya menyapanya setelah makan siang usai. Dari perawakannya, ia
tampak sebagai pemuda biasa. Namun, ternyata ia juga melayani sebagai pengajar
sekolah minggu di gereja lokal.
“Saya suka pakai baju ini ke mana-mana,” katanya sambil
menunjuk punggung kausnya. “Supaya orang tahu, saya bagian dari Yesus Army.
Hidup saya milik Tuhan.”
Ungkapan itu sederhana, tetapi penuh keyakinan. Balang tak
merasa perlu bersuara keras untuk menunjukkan imannya. Cukup melalui perilaku,
tulisan di punggung, dan kehidupan sehari-hari. Ia percaya, menjadi bagian dari
“Yesus Army” berarti siap menghadapi kehidupan dengan keberanian, ketulusan,
dan semangat melayani.
Bagi generasi muda Krayan seperti Balang, iman bukanlah warisan pasif. Mereka aktif menerjemahkannya dalam konteks kekinian. Di kampung-kampung, anak muda memimpin ibadah, menciptakan musik rohani dalam bahasa daerah, bahkan menggunakan media sosial untuk berbagi ayat-ayat firman Tuhan.
Rohani yang Menyatu dengan Budaya Lokal
“Yesus Army” di punggung Balang mencerminkan semangat baru
yang menyatu dengan warisan lama. Di tengah tekanan zaman modern, arus migrasi,
dan perubahan sosial, masyarakat Krayan tetap menjaga jati dirinya dengan cara
yang khas: berakar pada Injil, namun tetap menghargai nilai-nilai lokal.
Rumah-rumah panggung tetap berdiri, padang rumput tetap
digembalakan, dan doa tetap dipanjatkan setiap malam di rumah dan gereja. Dalam
segala kesederhanaan, Krayan menyimpan kekayaan rohani yang tak mudah
digoyahkan.
Di kota-kota lain, tulisan "Yesus Army" mungkin hanya tampak sebagai slogan di kaus. Namun di Long Bawan, tulisan itu merekam jejak sejarah yang dalam. Ia menyimpan perjalanan panjang sejak satu misionaris datang, menanam benih iman di hati suku Lundayeh, hingga kini tumbuh menjadi pohon kehidupan bagi generasi demi generasi.
Bagi orang Kristen, termasuk Katolik, Yesus Kristus adalah satu pribadi yang tak terbagi-bagi. Ia adalah Tuhan sejati dan manusia sejati dalam kesatuan yang utuh. Iman ini ditegaskan dalam Kolose 2:9, “Sebab dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan ke-Allahan,” dan diteguhkan oleh Gereja sejak Konsili Kalcedon (451 M) bahwa Kristus memiliki dua kodrat, ilahi dan manusia, tanpa percampuran, tanpa perubahan, tanpa pemisahan, dan tanpa pembagian.
Sebagaimana pula tertulis dalam Ibrani 13:8, “Yesus Kristus tetap sama, kemarin dan hari ini dan sampai selama-lamanya,” maka pengenalan kita akan Dia pun harus utuh, tidak terpecah oleh zaman, tafsir keliru, atau keinginan membentuk Yesus menurut selera manusia.
Dan “Yesus Army” adalah ungkapan identitas iman yang digunakan oleh sebagian umat Kristen, terutama generasi muda, untuk menyatakan secara terbuka bahwa mereka adalah pengikut Kristus yang siap melayani, berjuang, dan hidup sesuai ajaran-Nya di tengah dunia yang penuh tantangan.
Namun, perlu dipertegas bahwa “Yesus Army” samasekali tidak merujuk pada pasukan bersenjata, melainkan pada komunitas rohani yang menjadikan kasih, pengorbanan, dan kebenaran sebagai senjata utama.
Dalam konteks ini, menjadi bagian dari “Yesus Army” berarti hidup disiplin dalam iman, berani tampil berbeda, serta tidak malu menunjukkan kesetiaan kepada Kristus di ruang publik maupun dalam keseharian.*)
0 Komentar