Panglima Jilah: 100% Katolik, 100% Dayak, 100% Indonesia


Oleh Gregorius Nyaming

Identitas ganda bukanlah kontradiksi. Panglima Jilah, tokoh utama Pasukan Merah TBBR (Tariu Borneo Bangkule Rajakng), dengan tegas menyatakan bahwa dirinya adalah “100% Katolik, 100% Dayak, dan 100% Indonesia.” Pernyataan ini dikutip dari buku Panglima Jilah, Pemimpin Besar Pasukan Merah TBBR karya Masri Sareb Putra, Paran Sakiu, dan Matius Mardani.

Di sisi lain, Ketua DPD TBBR, Petrus Sabang Merah, dalam komunikasi via pesan pribadi, menegaskan bahwa perjuangan TBBR dilandasi oleh kesadaran iman dan keterpanggilan spiritual. “Perjuangan TBBR dilandasi dasar kesadaran bahwa Dayak sangat sulit bersatu. Tetapi tidak lupa selalu berpedoman kepada Tuhan,” ujarnya.

Spiritualitas Katolik dalam Gerakan Sosial Dayak

Dua hal penting menjadi dasar refleksi dalam tulisan ini, yakni identitas Katolik dan orientasi spiritual dalam perjuangan. Keyakinan Panglima Jilah serta para anggota TBBR bukan hanya bersifat simbolik, tetapi nyata dalam tindakan. Mereka hadir dalam berbagai isu sosial, dari pembelaan peladang tradisional di Sintang hingga dukungan kepada Effendi Buhing dan Willem Hengky dari Komunitas Adat Laman Kinipan.

Tindakan konkret mereka, seperti datang membantu korban banjir, mengunjungi warga yang tertindas, dan menyuarakan keadilan, merupakan cerminan nyata dari nilai-nilai Injili. Dalam terang iman Kristiani, aksi mereka selaras dengan sabda Yesus dalam Matius 25:35–36, “Ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan...”

Gereja dan Diam yang Berbicara

Hingga kini, suara resmi Gereja atau hirarki Katolik terhadap Pasukan Merah TBBR masih terkesan diam. Kecuali Mgr. Agustinus Agus dan Pastor Lukas Ahon, CP, yang pernah memperingatkan tentang bahaya praktik ilmu kebal, tidak banyak suara lain terdengar.

Namun diam ini dapat dibaca sebagai bentuk afirmasi. Dalam buku yang sama, Masri Sareb Putra dan tim menafsirkan diamnya Gereja sebagai bentuk persetujuan diam-diam, bahwa perjuangan Pasukan Merah selaras dengan semangat Injil dan ajaran sosial Gereja (halaman 49).

Gereja sendiri, melalui dokumen Gaudium et Spes dari Konsili Vatikan II, menegaskan komitmennya kepada penderitaan dan harapan umat manusia, “Suka dan duka, harapan dan kegelisahan manusia, terutama yang miskin dan tertindas, adalah juga suka duka Gereja.”

Refleksi Teologi Pembebasan dalam Konteks Lokal

Apakah gerakan Pasukan Merah TBBR terinspirasi oleh teologi pembebasan dari Amerika Latin? Mungkin tidak secara langsung. Namun secara praksis, perjuangan mereka memiliki banyak kesamaan.

Teologi pembebasan, yang dikembangkan oleh para teolog seperti Gustavo Gutiérrez, Jon Sobrino, dan Leonardo Boff, berangkat dari pengalaman konkret masyarakat tertindas. Teologi ini tidak hanya menyuarakan iman, tetapi juga berpihak kepada mereka yang dimarjinalkan oleh sistem.

Gutiérrez menyatakan bahwa hanya dengan terlibat dalam perjuangan orang miskin dan tertindas, Injil dapat dimaknai secara utuh dan nyata. Dalam kerangka itu, perjuangan Pasukan Merah dapat dilihat sebagai praksis lokal dari semangat Injil yang berpihak.

Menafsir Ulang “Berpedoman kepada Tuhan”

Menjadi 100% Katolik tidak hanya berarti setia pada ritus dan simbol, tetapi juga hadir nyata dalam perjuangan kemanusiaan. Benda-benda rohani seperti rosario, salib, dan doa-doa Katolik tidak boleh dijadikan alat mistik untuk kekebalan diri. Mereka adalah sarana menuju kekudusan, bukan jimat sakti.

Dalam konteks itu, menjadi Katolik berarti menghadirkan Kerajaan Allah di tengah dunia yang penuh ketidakadilan. Di sinilah praksis pembebasan menemukan tempatnya. TBBR, dalam semangatnya, sesungguhnya telah merefleksikan iman yang berpihak dan membebaskan. Mereka bergerak bukan karena kehendak politik atau hasrat kekuasaan, tetapi karena iman dan belarasa.

Hal ini penting untuk terus dikaji. Sebab iman Katolik tidak pernah berhenti hanya pada dimensi liturgis dan sakramental, tetapi harus menjelma dalam tindakan sosial yang konkret. Inilah yang membuat kesaksian Panglima Jilah dan pasukannya relevan dalam konteks Gereja dan bangsa Indonesia hari ini.

Mereka tidak menuntut pengakuan. Tetapi karya mereka berbicara. Dan suara mereka menggema di lorong-lorong keheningan Gereja, mengajak kita bertanya ulang: sudahkah iman kita membebaskan? 

0 Komentar

Type above and press Enter to search.