Inkulturasi Kapusin & Misi Gereja di Kalimantan: Cerita Dayak Jangkang
![]() |
Dua misionaris Kapusin dari Belanda (di sebelah kiri: Herman Josef van Hulten) pada tahun 1940-an, berdiri di tengah-tengah para pemuda dan tetua komunitas Dayak Jangkang, yang pada saat itu masih menganut kepercayaan tradisional mereka. Dokumentasi: Masri Sareb Putra. |
Oleh Masri Sareb Putra
Komunitas Dayak Jangkang di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, mengalami transformasi luar biasa dari masyarakat adat yang dahulu menjunjung tinggi tradisi headhunting (ngayau). Kini, mereka menjadi komunitas Katolik yang hidup dalam semangat Injil dan nilai-nilai kasih.
Proses perubahan ini tidak terjadi secara instan atau melalui pendekatan yang memaksakan nilai-nilai luar, melainkan melalui sebuah strategi misi yang disebut inkulturatif yakni perjumpaan dinamis antara ajaran Kristiani dan budaya lokal. Ordo Kapusin memainkan peran penting dalam proses ini, dan artikel ini mencoba mengangkat bagaimana misi mereka menjadi model yang relevan dalam konteks masyarakat multikultural seperti Indonesia.
Salah satu aspek yang paling mencolok dari perubahan dalam masyarakat Dayak Jangkang adalah bagaimana simbol-simbol budaya lokal diinterpretasi ulang secara kreatif. Misalnya, Ponto’ Urakng—sebuah simbol kesaktian dalam budaya Jangkang, diinkulturasi menjadi bentuk salib, sebuah lambang utama kekristenan. Ini bukan sekadar perubahan visual, tetapi menunjukkan bagaimana iman dan budaya dapat berdialog dan saling memperkaya. Di sinilah misi Katolik ala Kapusin menjadi berbeda: tidak menghapus budaya, tetapi mengangkat dan mengkristenkan maknanya.
Inkulturasi bukanlah proses satu arah di mana ajaran agama menggantikan adat istiadat. Ia adalah proses dialogis yang memungkinkan Injil berakar dalam budaya tanpa mencabut akar kultural masyarakatnya.
Dalam pendekatan ini, kita menemukan prinsip teologis klasik dari Thomas Aquinas dalam Summa Theologiae: “Gratia non tollit naturam, sed perficit eam”—rahmat tidak meniadakan kodrat, melainkan menyempurnakannya.
Ordo Kapusin membawa semangat ini dalam pelayanan mereka. Mereka tidak hanya berkhotbah tentang kasih dan pengampunan, tetapi juga hidup di tengah masyarakat, belajar bahasa dan adat, serta hadir dalam upacara-upacara lokal. Proses ini menunjukkan misi yang bukan dominatif, melainkan transformatif—suatu bentuk perjumpaan yang saling memperkaya.
Konteks Dayak Jangkang: Sub-Suku yang Kerap Terlupakan
Selama ini, banyak kajian teologi kontekstual di Kalimantan lebih terfokus pada kelompok besar seperti Dayak Ngaju, Kanayatn, atau Benuaq. Dayak Jangkang, meski memiliki budaya dan sistem adat yang kuat, cenderung luput dari perhatian akademik. Padahal, komunitas ini memiliki dinamika sosial dan keagamaan yang sangat menarik. Mereka hidup dalam struktur sosial yang berbasis rumah panjang, dengan adat istiadat yang erat kaitannya dengan kepercayaan leluhur dan pada saat bersamaan, kini telah menjadi komunitas Katolik yang mayoritas. Dari 30 populasi Kecamatan jangkang, 95% penganut Katolik.
Dengan masuknya misi gereja Katolik sejak 1938 melalui Ordo Kapusin, terjadi perubahan signifikan. Namun, perubahan itu tidak serta merta meniadakan adat. Justru sebaliknya, upacara adat seperti gawai, ngayau, dan manyaluk mengalami reinterpretasi religius yang memperdalam makna hidup beriman mereka.
Model Teoretis: Injil, Budaya, Transformasi
Penelitian ini menyusun model konseptual yang menggambarkan empat elemen utama dalam proses inkulturasi:
- Ajaran Injil,
- Praktik Inkulturasi,
- Transformasi Budaya,
- Pembaruan Iman Lokal.
Diagram alir yang dikembangkan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa ajaran Injil menjadi inspirasi awal, namun ia tidak langsung diinjeksikan begitu saja. Ia diolah dalam proses dialog dengan budaya, menghasilkan transformasi yang autentik dan relevan dengan konteks lokal.
Dalam kerangka misi ini, budaya lokal tidak dianggap sebagai penghalang, melainkan sebagai wahana pewartaan. Dengan demikian, muncul sintesis iman yang unik: Katolik ala Dayak Jangkang—iman yang bersumber dari Injil, namun berwajah lokal.
Pendidikan Iman: Kontekstual dan Pemberdayaan
Model misi inkulturatif Kapusin juga tidak berhenti pada tahap pengajaran doktrin. Mereka mengembangkan pendekatan pendidikan keagamaan kontekstual, sebagaimana dikembangkan oleh Mike Shipman dalam Kepemimpinan Kerasulan. Dalam konteks Dayak Jangkang, pendidikan iman dilakukan tidak hanya lewat kelas katekismus, tetapi juga melalui pendampingan sosial, pertanian, pendidikan dasar, dan penguatan struktur komunitas.
Kapusin hadir sebagai pendamping, bukan sebagai penguasa. Mereka mendorong terbentuknya kader lokal, seperti katekis adat dan kepala lingkungan, yang menjadi ujung tombak penyebaran iman. Hal ini sekaligus menjawab kebutuhan akan kepemimpinan religius yang memahami konteks sosial-budaya setempat.
Peran Summa Theologiae dan Misiologi Modern
Keberhasilan misi inkulturatif Kapusin di Dayak Jangkang tidak bisa dilepaskan dari pondasi teologis yang kuat. Thomas Aquinas menjadi rujukan utama, terutama dalam menjembatani antara iman dan akal, rahmat dan kodrat. Dalam konteks Dayak Jangkang, ini berarti bahwa simbol, ritus, dan nilai adat tidak harus dibuang, tetapi dimurnikan, diangkat, dan diberi makna Injili.
Selain itu, pemikiran Stephen B. Bevans dalam A Century of Catholic Mission memberi landasan misiologi yang dialogis dan interkultural. Misi bukanlah ekspansi dogma, melainkan komunikasi lintas budaya. Pandangan ini memampukan para Kapusin untuk menempatkan diri bukan sebagai superior, tetapi sebagai sahabat dan murid dalam konteks budaya lokal.
Inkulturasi: Bukan Asimilasi, Tetapi Perjumpaan
Inkulturasi tidak sama dengan asimilasi. Ia bukan menenggelamkan budaya lokal dalam arus global agama, tetapi menjadikannya medium komunikasi yang hidup. Dalam konteks Dayak Jangkang, kita menyaksikan bagaimana adat dan Injil berjalan seiring—ponto’ menjadi salib, rumah panjang menjadi tempat doa, dan bahasa lokal menjadi bahasa liturgi.
Di sinilah kekuatan pendekatan Ordo Kapusin: mereka tidak datang membawa paket siap saji dari Vatikan, tetapi membawa semangat Injil yang siap berdialog. Mereka tidak hanya mengajar, tetapi juga belajar. Tidak hanya membentuk, tetapi juga dibentuk oleh budaya lokal.
Menjadi Katolik dan Tetap Dayak
Transformasi masyarakat Dayak Jangkang bukanlah proses kehilangan identitas, tetapi justru penemuan ulang jati diri dalam terang Injil. Mereka tetap Dayak, dengan seluruh adat dan bahasanya, namun kini juga Katolik dengan iman yang kontekstual. Model misi inkulturatif Ordo Kapusin membuktikan bahwa misi yang berhasil bukanlah yang menaklukkan, tetapi yang menyatu dan memperkaya.
0 Komentar