Lena dan Pastor Lasarus, sang Penjaga Iman Katolik

Ilustrasi Lena Maryani dan Pastor Lasarus
Ilustrasi: Lena dan Pastor Lasarus. Interprestasi gambar  dengan google AI Studio

Oleh
Hertanto Torunas Moncas, S. Pd.

Pagi itu, kabut belum mau naik dari bukit. Hujan turun pelan-pelan membasahi atap seng yang sudah karatan.

Lena Maryani duduk di tangga kayu rumahnya, mengenakan selendang tua yang pernah diwariskan ibunya. Tangannya menggenggam Rosario dengan manik-manik kayu yang sudah mulai pudar warnanya. Ia berdoa dengan suara nyaris tak terdengar, namun penuh ketekunan yang memancar dari wajahnya.

Di mata orang-orang kampung, Lena Maryani adalah perempuan biasa, janda tanpa anak, tinggal sendiri di rumah tua yang rapuh di kaki Bukit Bius. Tapi di mata Pastor Lasarus, ia adalah penjaga iman yang paling setia di desa itu.

“Setiap kali saya datang untuk merayakan Misa, Lena sudah duduk di bangku depan gereja, bahkan sebelum lonceng dibunyikan,” kenang Pastor Lasarus suatu hari. Ia mengenalnya sebagai perempuan Katolik yang tidak hanya taat, tetapi juga penuh kasih dalam tindakan sehari-hari.

Lena tidak banyak bicara, tapi diam-diam ia menjadi tempat bertanya bagi banyak perempuan di kampung. Ketika ada yang kesulitan ekonomi, Lena akan menyumbang beras dari lumbungnya, meskipun ia tahu lumbung itu tak akan penuh lagi sebelum musim panen berikutnya. Ia percaya, seperti diajarkan gereja Katolik, bahwa memberi dari kekurangan adalah bentuk cinta yang sejati. Bukan jumlah yang dilihat Tuhan, tetapi ketulusan.

Iman Katolik bukan hanya hidup dalam doa-doanya, tetapi juga dalam cara Lena menjalani hari-harinya. Setiap Jumat, ia membersihkan altar gereja kecil di ujung dusun, menata bunga-bunga liar yang ia petik dari hutan pagi-pagi. Ia lakukan semua itu tanpa pamrih.

Ketika Pastor Lasarus pernah bertanya mengapa ia terus melakukan semua itu tanpa diminta, Lena hanya menjawab lirih, “Saya ingin rumah Tuhan selalu bersih. Kalau kita cinta, kita rawat. Seperti kita rawat orang yang kita kasihi.”

Namun hidup Lena tidak selalu tenang. Beberapa tahun lalu, kampungnya pernah dilanda konflik karena sebuah perusahaan sawit ingin mengambil tanah adat.

Banyak warga tergoda menjual hak mereka. Lena berdiri paling depan, bukan dengan amarah, tetapi dengan keteguhan iman. Ia mengajak warga duduk bersama, membaca Kitab Suci, dan merenungkan arti “menjadi penjaga bumi” seperti dalam ajaran Katolik. “Tanah ini bukan hanya tanah,” katanya, “ini rahim yang memberi hidup. Kita tidak bisa menjual rahim kita sendiri.”

Kata-katanya mengubah hati banyak orang. Warga menolak menjual tanah mereka. Bahkan, Lena mengusulkan agar bagian dari tanah adat dijadikan kebun komunitas yang hasilnya dibagi untuk para janda dan anak-anak yatim. Inisiatif itu kini menjadi sumber pangan utama bagi mereka yang kesulitan. Lena tidak menjadi pemimpin secara resmi, tetapi dialah jiwa dari gerakan itu.

Suatu malam, Lena jatuh sakit. Ia dirawat di rumahnya sendiri, dijaga bergantian oleh para ibu yang selama ini menerima kasih darinya. Pastor Lasarus datang membawa Sakramen Orang Sakit. Di hadapan salib kecil di dinding bambu rumahnya, Lena menerima Komuni dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu waktunya hampir tiba.

“Pastor,” bisiknya pelan, “kalau nanti saya tidak ada, ajarkan anak-anak untuk mencintai gereja Katolik. Jangan biarkan mereka lupa, bahwa kita tidak hidup hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk sesama.” Pastor Lasarus menunduk, menahan air mata. Ia tahu, Lena telah hidup sebagai Injil yang berjalan, sebagai wujud nyata kasih dalam sunyi.

Beberapa minggu setelah kepergian Lena, gereja kecil di kampung itu direnovasi oleh para pemuda. Mereka mengganti bangku tua, memperbaiki atap bocor, dan membuat taman kecil di halaman depan.

Di situ, mereka menanam bunga-bunga liar seperti yang dulu Lena bawa setiap Jumat pagi. Di bawah salib gereja, mereka menulis sebuah kalimat yang diambil dari ingatan Pastor Lasarus, “Kalau kita cinta, kita rawat.”

Lena Maryani memang telah pergi, tetapi warisan imannya tetap hidup. Katolik bukan lagi hanya doktrin bagi warga kampung itu, tetapi hidup nyata yang dijalani dalam tindakan sehari-hari. Dari Lena, mereka belajar bahwa kesederhanaan bisa menjadi jalan menuju kekudusan. Bahwa cinta bisa hadir dalam bentuk semangkuk nasi, seikat bunga liar, dan keteguhan hati menjaga tanah.

Kini, setiap kali lonceng gereja berdentang, anak-anak akan berlari menuju altar. Mereka mengenal Lena bukan dari cerita, tetapi dari tindakan.

Dari bangku yang selalu rapi, dari bunga-bunga liar yang tertata indah, dan dari suara ibu-ibu yang mendoakan Rosario bersama. Gereja Katolik di desa itu tidak lagi sepi. Ia hidup, tumbuh, dan bersinar dari iman satu perempuan sederhana.

Iman Katolik yang Lena wariskan bukanlah iman yang keras atau memaksa, tetapi lembut, bersahaja, dan penuh belarasa. Ia menunjukkan bahwa dalam keheningan, dalam pelayanan tanpa nama, seseorang bisa menjadi terang bagi dunia.

Lena Maryani telah membuktikan, bahwa perempuan sederhana di kaki bukit pun bisa menjadi santo tanpa gelar, karena hidupnya sendiri adalah doa yang terus bergema.

Jangkang, 03 Agustus 2025

 

*) Penulis adalah aktivis di Stasi Mongkau, Paroki Jangkang, Keuskupan Sanggau, Kalimantan Barat.

0 Komentar

Type above and press Enter to search.