Mengapa Gereja Katolik Tetap Kuat Selama Lebih dari 2.000 Tahun

Sejarah-gereja-Katolik

Oleh Masri Sareb Putra

Lama saya merenung: bagaimana mungkin satu institusi keagamaan bertahan lebih dari dua milenium, melewati kekaisaran yang runtuh, filsafat yang berubah-ubah, serta perkembangan sains dan sekularisme modern? Namun kenyataannya, Gereja Katolik tetap berdiri, solid, dan berpengaruh hingga hari ini.

Saya menulis ini bukan sebagai teolog atau ahli sejarah, tapi sebagai seorang Katolik awam yang telah lama tinggal dan tumbuh dalam naungan Gereja.

Saya ingin berbagi, dengan hati terbuka, refleksi pribadi tentang mengapa saya percaya Gereja Katolik akan terus berdiri kokoh, tak hanya karena sejarahnya, tetapi karena napas ilahi yang menghidupinya.

Akar Iman Umat Katolik yang Ilahi

Gereja Katolik bukan sekadar komunitas religius. Ia bukan produk sosial semata, tapi ecclesia, persekutuan yang berdiri atas dasar panggilan dan janji Kristus sendiri.

Yesus berkata kepada Petrus: “Engkau adalah Petrus, dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku, dan alam maut tidak akan menguasainya” (Mat 16:18). Kalimat ini bukan sekadar simbolis. Bagi saya, ini adalah fondasi rohani yang memberi kekuatan luar biasa.

Gereja tidak berdiri karena kekuatan manusia. Ia hidup karena Kristus hadir di dalamnya. Dalam Ekaristi Kudus, dalam doa, dalam Sakramen Tobat, saya mengalami bahwa Tuhan benar-benar tinggal di tengah umat-Nya.

Liturgi yang diulang setiap minggu bukanlah pengulangan kosong, melainkan perjumpaan yang memperbarui. Doa-doa yang saya ucapkan bersama umat lain adalah gema doa para kudus sepanjang abad. Ada kesinambungan iman lintas waktu, ruang, dan generasi.

Struktur yang Teratur dan Hidup

Banyak yang mengkritik struktur hirarkis Gereja Katolik, dari Paus, uskup, imam hingga diakon, sebagai kaku atau kolot. Tapi saya melihatnya sebagai tulang punggung yang menjaga kesatuan dan kestabilan.

Dalam dunia yang serba cair dan mudah berubah, Gereja menawarkan struktur yang kokoh, bukan untuk membelenggu, melainkan untuk menjaga arah. Tidak semua yang modern itu benar, dan tidak semua yang tradisional itu salah. Gereja tahu bagaimana menimbang keduanya.

Struktur ini juga memungkinkan koordinasi lintas negara, lintas budaya. Di mana pun saya berada baik di desa terpencil atau di kota metropolitan, saya tetap bisa mengenali liturgi, ajaran, dan nilai-nilai yang sama. Itu bukan kemonotonan, tapi kesatuan dalam keberagaman.

Gereja yang Belajar dan Bertumbuh

Salah satu hal yang membuat saya semakin mencintai Gereja adalah keterbukaannya untuk berubah, tanpa kehilangan jati dirinya.

Contoh paling besar adalah Konsili Vatikan II. Gereja membuka dialog dengan dunia modern—bukan karena tunduk pada zaman, tapi karena ingin lebih relevan dalam menyampaikan Injil. Bahasa liturgi diubah, partisipasi awam diperluas, pendekatan terhadap agama lain diperhalus.

Saya melihat hal yang sama hari ini. Gereja hadir di media sosial, menyapa anak muda melalui podcast, YouTube, bahkan TikTok. Imam-imam muda berbicara tentang iman dengan cara yang sederhana, tapi menyentuh.

Perubahan ini bukan berarti meninggalkan tradisi, melainkan menghidupkannya kembali dalam konteks baru. Inilah yang membuat Gereja tetap lentur tanpa patah, dan kuat tanpa membatu.

Luka, Tapi Sanggup Bertobat

Saya tidak akan menutupi kenyataan: Gereja memiliki luka. Ada skandal, kesalahan masa lalu, penyalahgunaan kuasa. Itu menyakitkan dan mengecewakan banyak orang, termasuk saya.

Namun, justru di sinilah saya melihat kemurnian sejati. Gereja tidak menyangkal kesalahannya. Gereja mengakuinya, menangis bersama korban, dan berusaha membenahi diri. Itu bukan tanda kelemahan, melainkan kerendahan hati dan keberanian moral.

Tidak banyak institusi global yang mau bercermin secara terbuka. Tapi Gereja melakukannya, karena ia bukan milik sekelompok manusia, tapi milik Kristus. Selama Kristus menjadi pusatnya, Gereja akan selalu kembali kepada terang.

Komunitas yang Menjadi Rumah

Saya mengalami Gereja bukan hanya di Vatikan atau dalam dokumen-dokumen resmi. Saya mengalaminya dalam komunitas: saat duduk di bangku gereja paroki, saat berbagi kisah iman dalam kelompok kategorial, saat bernyanyi dalam koor sederhana di pelosok kampung.

Gereja adalah rumah bagi orang-orang biasa seperti saya.

Ketika saya menyambut damai dalam Misa, saya sadar: saya tidak sendiri. Ada jutaan orang lain yang menjalani pergumulan serupa, yang percaya pada Tuhan yang sama. Ini bukan sekadar ikatan spiritual, tapi solidaritas iman global yang nyata.

Paus Leo XIV: Gembala Zaman Ini

Gereja Katolik selalu dianugerahi pemimpin-pemimpin besar, yang tidak hanya membimbing umat secara teologis, tapi juga menyuarakan harapan dunia. Yohanes Paulus II membawa semangat perdamaian. Benediktus XVI mengajak kembali pada kedalaman teologi. Paus Fransiskus meneladankan kerendahan hati dan cinta kepada kaum miskin.

Kini, tongkat estafet itu berada di tangan Paus Leo XIV—pemimpin yang menggabungkan ketegasan moral, kecerdasan intelektual, dan kedalaman rohani. Ia berbicara lantang tentang keadilan, perubahan iklim, dan martabat manusia, namun tetap berpijak pada Injil.

Saya terkesan bagaimana Paus Leo XIV menjembatani tradisi dan kemajuan. Ia tidak terjebak dalam ekstrem konservatif maupun liberal. Ia memilih jalan tengah yang bijaksana—jalan kasih.

Di tengah dunia yang penuh kebingungan, Paus Leo XIV menjadi suara kenabian, bukan hanya bagi Gereja, tapi juga bagi dunia.

Sakramen dan Kehidupan Sehari-hari

Yang membuat iman Katolik begitu kuat bagi saya adalah bahwa ia mengalir dalam kehidupan sehari-hari.

Saya tidak hanya Katolik saat Misa hari Minggu. Saya merasakan kehadiran Tuhan dalam tiap Sakramen yang Gereja wariskan:

  • Saat menerima Ekaristi, saya dikuatkan.
  • Saat mengaku dosa, saya dipulihkan.
  • Saat menikah, saya diberkati.
  • Saat sakit, saya diurapi.

Iman bukan sekadar ide. Iman adalah hidup. Dan Gereja menjadikannya nyata—melalui tanda, simbol, dan tindakan nyata kasih.

Gereja dan Aku

Gereja bukanlah institusi yang sempurna. Ia seperti bahtera besar di tengah samudera, yang kadang bocor, kadang lambat, kadang diterpa badai. Tapi bahtera ini tidak tenggelam. Sebab nahkodanya adalah Kristus.

Saya mencintai Gereja bukan karena ia bersih dari kesalahan, tetapi karena ia jujur dalam pertobatan. Saya bertahan dalam Gereja bukan karena semua umatnya suci, tetapi karena Gereja memanggil semua orang menuju kesucian.

Gereja telah bertahan lebih dari 2.000 tahun. Ia akan terus bertahan, bukan karena kekuatan manusia, tapi karena janji Kristus sendiri: “Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman” (Mat 28:20).

Dan janji itu, bagi saya, cukup.

0 Komentar

Type above and press Enter to search.