Doa Makan Adat Umat Katolik di Krayan (Kalimantan): Makna dan Tradisi
![]() |
Yansen TP, tokoh masyarakat Krayan selalu berdoa sebelum santap makan |
Di dataran tinggi Krayan, Kabupaten Nunukan, perbatasan dengan Malaysia ini, meja makan bukan sekadar tempat untuk mengisi perut.
Meja makan adalah ruang spiritual. Tempat
perjumpaan yang sunyi namun bermakna. Tanpa ornamen religius. Tanpa khutbah.
Tanpa paksaan.
Di sini, doa makan bukan hanya rutinitas.
Ia menjelma menjadi tubuh. Menjadi cara hidup. Menjadi bentuk penghormatan
terhadap kehidupan itu sendiri.
Doa Makan sebagai Uujud Syukur Paling
Manusiawi
Dalam tradisi Kristen, dikenal berbagai
bentuk doa: permohonan, pengakuan iman, pengharapan, dan penyerahan diri. Namun
barangkali yang paling mendasar dan universal adalah doa syukur.
Doa syukur tidak meminta apa-apa. Ia hanya
mengakui bahwa hidup adalah anugerah. Bahkan bila yang tersedia di meja hanya
sepiring nasi dan air sayur bening, itu pun cukup untuk bersyukur.
Dan saya menyaksikan praktik ini nyaris
setiap hari di Krayan. Tidak ada paksaan. Tidak ada formalitas. Hanya kepala
yang tertunduk. Ucapan pelan. Dan suasana yang hening tapi hangat.
Salah satu sosok yang setia menjaga
kebiasaan ini adalah Yansen TP. Tokoh Dayak asal Krayan ini selalu berdoa
sebelum makan—bukan karena status sosial atau pencitraan politik, melainkan
karena keyakinan yang tumbuh sejak lama. Doanya lembut, hampir seperti bisikan:
“Terima kasih, Tuhan, atas makanan dan
minuman yang Engkau berikan. Berkati supaya menjadi kekuatan, bukan hanya bagi
tubuh ini, tapi juga bagi roh kami. Berkati juga mereka yang telah
menyiapkannya, memasaknya, dan memberikannya. Dan ingatlah orang-orang yang
belum dapat menikmatinya hari ini.”
Singkat. Tapi menghunjam.
Di Krayan, Doa Menyatukan, Bukan
Memisahkan
Yang paling mengesankan, doa makan di
Krayan bersifat inklusif. Bila yang berdoa adalah Katolik, yang Muslim akan
ikut khusyuk. Bila yang berdoa Protestan, penganut kepercayaan leluhur pun
menunduk dan mengamini dengan cara mereka sendiri.
Tidak ada keberpihakan agama. Tidak ada dominasi
simbol. Yang ada hanya rasa syukur bersama atas makanan yang hadir di hadapan.
Dalam tradisi ini, doa tidak menjadi
identitas eksklusif, tetapi menjadi jembatan antariman. Menjadi wujud
kerendahan hati yang melampaui doktrin.
Saya membayangkan, seandainya lebih banyak
tempat seperti Krayan di mana orang-orang tidak saling menghakimi iman, tapi
saling mengamini doa. Di mana spiritualitas bukan dipertontonkan, tetapi
dihidupi. Di mana makanan bukan sekadar gizi, tapi simbol kehidupan yang
dibagi.
Doa Makan: Spiritualitas Harian yang
Membumi
Di kota-kota besar, makan adalah aktivitas
tergesa: di mobil, di sela rapat, atau bahkan di tengah jalan. Doa makan nyaris
dilupakan. Padahal, di balik sepiring nasi, ada kerja keras para petani, tukang
masak, dan pedagang. Ada jejak kehidupan yang panjang.
Tradisi doa makan di Krayan mengajak kita
mengingat kembali:
- bahwa
makan adalah rahmat,
- bahwa
makanan bukan hanya milik kita,
- bahwa
hidup adalah kerja kolektif.
Dan lebih dari itu, doa makan mengajarkan
relasi yang utuh: dengan Tuhan, dengan sesama, dengan alam.
Kesimpulan: Belajar dari Krayan
Doa makan di Krayan adalah spiritualitas
yang sederhana tapi menyentuh. Tanpa retorika. Tanpa drama. Tapi penuh makna.
Ia bukan ritual formal, tapi bagian dari napas kehidupan sehari-hari. Dan
mungkin, dari titik sekecil ini—dari meja makan—kita bisa belajar tentang nilai
paling hakiki: menghargai hidup, menghormati sesama, dan bersyukur dalam segala
hal.
Karena doa, pada akhirnya, bukan sekadar
hubungan vertikal dengan Yang Maha. Tapi juga jembatan horizontal dengan sesama
manusia.
0 Komentar