Asrama Putri St. Maria Goreti Sekadau: Jejak Panjang Pendidikan Gaya Misi Katolik
![]() |
Para alumnae Asrama Putri St. Maria Goreti Sekadau ketika reuni. Ist |
Model pendidikan berasrama telah lama dikenal dalam tradisi pendidikan Katolik, bermula dari Eropa berabad-abad silam. Ketika para misionaris Katolik datang ke Nusantara, pendekatan ini dibawa serta dan diterapkan di berbagai wilayah, termasuk Borneo. Pada tahun 1905, para imam dari Ordo Kapusin (OFM Cap) mulai membuka sekolah-sekolah berasrama di Kalimantan, seperti di Pelanjau (1916) dan kemudian Nyarumkop, Singkawang. Hingga kini, warisan pendidikan berasrama itu masih hidup, terlihat dari keberlangsungan Wisma Rini dan Wisma Widya di Nyarumkop.
Pada dekade 1970-an, para misionaris
Passionis (CP) memperkenalkan pola serupa di wilayah Sekadau, Kalimantan Barat.
Mereka tidak bekerja sendiri, melainkan bersama para suster dari kongregasi
yang sama. Para suster CP inilah yang bertugas mendampingi para siswi,
membentuk karakter mereka melalui pola pengasuhan yang penuh perhatian, di luar
pendidikan akademik formal.
Kisah itu dihidupkan kembali dalam Reuni
Alumni SPG St. Paulus Sekadau, yang digelar pada 7–8 Juli 2023. Sekitar 250
alumni dari 18 angkatan (1973–1991) hadir, sebagian besar adalah lulusan Asrama
Putri St. Maria Goreti. Perjumpaan mereka dengan sahabat-sahabat lama bukan
hanya menghidupkan kenangan, tetapi juga menjadi perayaan atas warisan pendidikan
yang telah membentuk mereka. Gedung Kateketik Sekadau menjadi saksi suasana
haru dan bahagia: lagu "Gereja Tua" dibawakan dengan penuh nostalgia,
tangan saling menggenggam, tawa dan tarian berbaur dalam suasana kekeluargaan.
Meskipun SPG St. Paulus telah ditutup
sejak 1991 karena kebijakan pemerintah, perannya selama 20 tahun dalam mencetak
pendidik di Kalimantan Barat tidak pernah pudar. Para alumni tetap berkiprah di
berbagai lini pendidikan di Kabupaten Sekadau dan Sanggau. Reuni ini, yang
seluruh biayanya ditanggung oleh sumbangan sukarela para alumni, memperlihatkan
semangat yang masih menyala. Bahkan, sebuah buku kenangan berjudul Cerita
Nostalgia dari SPG: Bila Bertemu Puaslah Hatiku diterbitkan untuk
mengabadikan momen itu.
Dari obrolan-obrolan ringan hingga pelukan
hangat di sudut ruangan, reuni ini menjadi ajang mengenang masa muda. Banyak
peserta telah memasuki usia pensiun; yang termuda berusia 53 tahun, tertua 71.
Beberapa bahkan mengenang kisah cinta lama mereka semasa sekolah, termasuk yang
akhirnya menjadi pasangan hidup—menurut panitia, ada setidaknya 48 pasangan
yang terbentuk melalui lembaga ini.
Nama-nama seperti Sr. Dominika Jili CP,
Yusvia Basilisa, Mariata, Martina Yati, dan Theresia Indon muncul sebagai
pengingat akan masa-masa awal tinggal di Asrama Putri sejak 1968. Pada masa
itu, Sekadau masih sepi dan SMP St. Gabriel baru berdiri. Karena sebagian besar
siswi berasal dari kampung-kampung jauh, keberadaan asrama menjadi kebutuhan
mendesak. Tantangan muncul saat mencari pengasuh asrama. Minimnya tenaga
pengasuh perempuan membuat para guru laki-laki seperti Matius Biong, Mawi, dan
Yosef Mayau turun tangan langsung, dibawah arahan Pastor Lukas D. Spinosi, CP.
Asrama Putri Santa Maria Goreti pada
awalnya hanya dihuni oleh 20 orang. Salah satunya adalah Sr. Dominika, yang
sejak awal diberi kepercayaan membantu menjaga kedisiplinan. Para pengasuh
laki-laki bergantian bertugas hingga akhirnya tanggung jawab itu diserahkan
kepada para Suster Pasionis dari Italia.
Terobosan penting terjadi saat Prefektur
Apostolik Sekadau resmi berdiri pada 9 April 1968. Wilayah pelayanannya
meliputi Belitang, Sekadau, Nanga Taman, Nanga Mahap, hingga wilayah sepanjang
Sungai Kapuas bagian kanan. Prefek pertama adalah Mgr. Michaele Di Simone, CP.
Saat beliau digantikan oleh Mgr. Lukas D. Spinosi, CP pada 1 September 1972,
fokus pelayanan pendidikan asrama semakin diperkuat.
Undangan untuk menghadirkan suster-suster
dari Italia akhirnya terwujud pada 22 Juni 1974, setelah penantian selama enam
tahun. Tiga suster pertama yang datang adalah Sr. Maria Etienne Coopman, CP,
Sr. Clorinda Arista, CP, dan Sr. Beatriz Mendizabal, CP. Mereka melakukan
adaptasi di Jakarta dan Pontianak sebelum tiba di Sekadau. Perjalanan dari
Pontianak ditempuh menggunakan motor Bandung milik Prefektur Sekadau bernama
“Solidaritas”. Penyambutan dilakukan secara adat Dayak dan misa syukur dipimpin
oleh Mgr. Spinosi.
0 Komentar