Pengabdian Katolik ke Filipina Usai 6 Tahun Mengabdi di Kalbar
![]() |
Sr. Charito A. Quinones, OP bersama anak-anak. Photo istimewa. |
Oleh Sr. Charito A. Quinones, OP
Setelah enam tahun berkarya sebagai misionaris di Kalimantan Barat, Indonesia, saya kembali ke tanah air saya, Filipina. Kepulangan ini bukan sekadar pergerakan fisik, tetapi perjalanan batin yang sarat makna. Saya membawa pulang hati yang penuh syukur atas pengalaman luar biasa bersama umat yang begitu hangat, penuh harapan akan tugas baru yang menanti, dan haru karena harus meninggalkan komunitas yang sudah menjadi bagian dari hidup dan doa saya.
Kini, Tuhan menuntun langkah saya ke babak
baru dalam hidup panggilan ini: menjadi pendidik di St. Vincent’s Catholic
School of Bayambang, Pangasinan, sebuah sekolah Katolik yang berada di bawah
Keuskupan Agung Lingayen-Dagupan. Di sinilah saya kembali menemukan sukacita
dalam pelayanan. Komunitas ini hidup, hangat, dan berakar kuat pada iman
Katolik. Allah, dengan cara-Nya yang lembut, sedang memperluas cakrawala
pelayanan saya agar tak berhenti di batas geografis, melainkan meluas dalam
kedalaman hati.
Saya ingat betul perasaan di hari-hari
pertama kembali. Banyak yang menyangka bahwa berkarya di negeri sendiri akan
lebih mudah, tapi sesungguhnya menjadi misionaris di tanah kelahiran bisa jauh
lebih menantang. Ada ekspektasi yang tak diucapkan, ada ritme baru yang perlu
saya pahami kembali, dan ada realitas sosial yang berbeda dari yang saya
tinggalkan enam tahun lalu. Tapi justru di situlah semangat misi kembali
menyala. Saya tahu, Tuhan belum selesai bekerja melalui diri saya.
Selama menjadi misionaris di antara orang
Dayak, begitu banyak kenangan yang saya bawa pulang. Saya sangat mencintai umat
di Ngabang, tempat saya pernah berkarya. Selain mengajar bahasa Inggris kepada
anak-anak muda dan para mahasiswa, saya juga menjadi pembina rohani mereka.
Saya suka Katolik Indonesia. Iman saya pun bertumbuh dan bertambah-tambah. Di
sana, saya menyaksikan wajah Gereja yang hidup dan bersahaja. Misa hari Minggu
menjadi momen yang tak terlupakan—saya bertugas membagi komuni di gereja paroki
di kota Ngabang. Ah, kenangan itu sungguh indah. Tuhan telah memberikan
warna-warni kehidupan saya yang sangat indah. Tiap hari, jika kita menghayati
panggilan dengan setia, senantiasa ada kegembiraan dan harapan, Gaudium et
Spes, seperti salah satu dokumen agung Konsili Vatikan II.
Di sekolah baru saya kini, saya diberi
kepercayaan untuk mengajar Pendidikan Agama Katolik di delapan kelas tingkat
XI. Selain itu, saya membina 65 katekis siswa yang melayani anak-anak sekolah
dasar negeri di Bayambang. Tugas ini bukan sekadar membagikan pengetahuan,
tetapi menyalakan api iman dalam jiwa muda. Salah satu momen yang paling
menyentuh hati saya adalah ketika mengikuti Misa Roh Kudus yang diadakan setiap
awal tahun ajaran. Lebih dari 500 guru Katolik dari seluruh Keuskupan
berkumpul, dan dalam perayaan iman yang penuh kekuatan itu, saya menyadari:
kami tidak berjalan sendiri. Kami semua adalah bagian dari misi bersama yang
kudus.
Allah benar-benar menghadiahkan saya
keluarga baru—tempat di mana saya belajar, bertumbuh, dan berbagi cinta setiap
hari. Saya melihat betapa besar potensi anak-anak muda ini jika mereka disentuh
dengan pendekatan yang manusiawi dan kontekstual. Ketika pelajaran agama tidak
diperlakukan seperti mata pelajaran biasa, tetapi sebagai ruang dialog dan
refleksi, para siswa menjadi lebih terbuka. Saya menyaksikan mereka lebih mudah
tersentuh, lebih siap memperlihatkan sisi manusiawinya, dan lebih ingin
memahami serta menghidupi ajaran iman Katolik.
Setiap hari saya membawa pengalaman saya di
Indonesia ke dalam kelas, tak secara eksplisit, tapi melekat dalam cara saya
mendengar, menjawab, dan membimbing. Enam tahun di Kalimantan Barat bukan hanya
memperdalam iman saya, tetapi juga memperluas cara pandang saya terhadap dunia
dan pelayanan. Saya belajar dari budaya yang berbeda, dari kehidupan umat
pedalaman, dari kerja sama lintas budaya, dan dari kesederhanaan yang sangat
kaya akan makna.
Maka, meskipun secara teknis saya sudah
kembali, saya tahu bahwa misi belum selesai.
Kepulangan ini bukanlah akhir, melainkan
kelanjutan yang indah dari rencana Tuhan dalam hidup saya. Saya percaya, selama
saya mau diutus, Tuhan akan terus menempatkan saya di ladang-ladang baru yang
siap dituai. Dan seperti selalu, saya akan pergi dengan hati terbuka, tangan
terulur, dan doa yang tak pernah putus: Thy will be done.
Kenangan itu selalu kuingat
Meskipun saya merasa rindu akan ladang Tuhan
di Kalimantan, saya percaya bahwa Tuhan telah menempatkan saya di tempat ini
untuk suatu tujuan.
Banyak kenangan selama menjadi misionaris
di antara orang Dayak. Di Ngabang, selain mengajar bahasa Inggris bagi anak-anak
muda dan para mahasiswa, saya juga menjadi pembina rohani mereka. Saya suka
Katolik Indonesia, dan iman saya pun bertambah-tambah.
Pada Misa hari Minggu, saya bertugas
membagi komuni di gereja paroki di kota Ngabang. Ah, kenangan itu sungguh indah.
Tuhan telah memberikan warna-warni kehidupan saya yang sangat indah.
Tiap hari, jika kita menghayati panggilan,
senantiasa ada kegembiraan dan harapan, Gaudium et Spes, seperti salah
satu dokumen Konsili Vatikan II.
Biarlah jejak karya kecil Misi saya di Ngabang menjadi catatan iman. Seperti syair lagu Panbers dalam “Gereja Tua”: kenangan itu selalu kuingat….”
*) Penulis adalah seorang biarawati Ordo
St. Agustine (OP), pendidik, misionaris yang selama 6 tahun berkarya di
Kalimantan Barat. Kini sebagai pendidik di sekolah formal di Filipina.
0 Komentar