Ciuman di Ujung Senja
![]() |
Ilustrasi Ilove you |
Oleh: Masri Sareb Putra
Julay Heng.
Nama yang seperti bunyi benda jatuh di atas lantai kayu. Julay. Heng. Dua suku kata yang pendek, tetapi kalau kau sebutkan dengan perasaan, bisa berubah menjadi puisi panjang. Ia bukan siapa-siapa. Tapi ia pernah mencintai seseorang.
Bumi Lawang Kuwari. Ah, tanah itu, Sekadau. Tanah yang tiap debu jalannya mengandung puisi. Tanah yang menyimpan serpih-serpih senja di sela daun jati dan pelataran sekolah yang penuh teriakan anak muda. Tanah itu saksi. Atau bisa juga terdakwa. Entah.
Setiap kali Julay kembali ke sana, atau hanya mengingatnya, kepalanya seakan dilempari album foto. Gambar-gambar kenangan berserakan: suara sepeda motor butut, aroma gorengan di warung depan sekolah, dan tentu saja… sepasang mata sipit yang bisa membuat degup jantung salah ritme: Mei Hwa.
Mei Hwa. Tak perlu dijelaskan panjang-panjang. Sebab siapa pun yang pernah melihatnya pasti mengerti kenapa seekor kupu-kupu bisa berhenti mengepakkan sayapnya. Ia bukan perempuan biasa. Ia adalah peristiwa.
Mereka bertemu di bangku SMA. Di lapangan basket, di perpustakaan, di pelajaran Biologi yang membosankan. Kadang tidak saling bicara, hanya saling lirik. Tapi dari tatapan itu sudah cukup untuk membakar satu desa. Tatapan yang membuat langit malu, karena langit pun tak pernah sebiru mata Mei Hwa saat tertawa.
Cinta? Ah, jangan pakai kata itu terlalu cepat. Di usia seperti itu, cinta masih malu-malu. Ia hadir sebagai saling menunggu di kantin, saling tersenyum di tangga, saling melempar bolpoin, pura-pura salah.
Sampai suatu sore.
Di antara latihan baris-berbaris dan tugas menulis esai tentang revolusi industri. Senja turun pelan-pelan, seperti tirai. Dan di bawah cahaya jingga yang hampir palsu itu, Julay dan Mei Hwa berdiri seperti dua patung. Diam. Tapi jantung mereka menari lincah.
Tanpa banyak bicara, mereka saling mendekat. Tak tahu siapa yang memulai. Tapi tahu-tahu bibir mereka bersentuhan. Bukan ciuman yang penuh nafsu. Bukan ciuman film Hollywood. Hanya sentuhan pelan. Satu detik. Tapi cukup untuk membuat waktu berhenti dan lupa cara bergerak lagi.
Setelah itu, tak ada apa-apa lagi. Tak ada pacaran resmi. Tak ada gandengan tangan. Tidak ada surat cinta yang diselipkan di dalam buku. Hanya kenangan. Dan waktu yang melanjutkan tugasnya untuk memisah-misahkan semua yang terlalu indah untuk jadi kenyataan.
Mei Hwa lulus. Pergi. Ke Pontianak. Lalu ke Jakarta. Katanya ingin jadi arsitek. Atau apalah, Julay lupa. Yang jelas, ia pergi. Dan Julay tetap tinggal. Di Sekadau. Di rumah kayu beranda lebar. Di tanah yang tak pernah menjanjikan apa-apa kecuali langit luas dan senja yang setiap hari jatuh ke pangkuan Sungai Kapuas.
Sepuluh tahun…
Seperti daun jambu yang gugur pelan-pelan. Waktu lewat. Julay berubah. Ia tidak lagi kurus. Sudah tumbuh jenggot. Sudah bisa mengisi formulir pajak sendiri. Tapi, anehnya, senja itu masih ada. Dan ciuman itu belum juga hilang.
Suatu hari, saat sedang membeli terasi dan ikan asin di pasar, ia melihat Mei Hwa.
Detak.
Waktu berhenti lagi. Orang-orang membeku. Penjual sayur berubah menjadi patung lilin. Udara mendadak harum seperti parfum remaja.
“Julay?” katanya.
Suaranya masih sama. Lembut. Tapi dengan nada yang lebih dewasa. Lebih berlapis. Seperti kain sutra yang sudah dicuci berkali-kali.
“Iya. Mei.”
Mereka tidak peluk-pelukan. Tidak menjerit-jerit seperti sinetron. Hanya saling menatap. Sejenak. Lalu sama-sama tertawa. Geli oleh kebetulan. Dan mungkin oleh sesuatu yang tak bisa disebut.
“Sudah menikah?” tanya Julay, setengah berharap jawabannya tidak.
Mei Hwa tersenyum. “Sudah.”
Krek.
Ada sesuatu yang retak di dalam dada Julay. Tapi ia tetap tersenyum. Laki-laki Dayak itu tahu caranya menelan luka tanpa suara.
“Kamu sendiri?” tanya Mei.
“Masih sendiri,” kata Julay. Jujur. Sejujur langit sore itu.
Lalu mereka duduk. Di bangku kayu pasar. Di bawah pohon asam. Tidak jauh dari tempat anak-anak menjual balon gas.
Ngobrol. Tentang masa lalu. Tentang guru Biologi yang katanya sekarang beternak entok. Tentang warung kopi. Tentang Panbers.
Lagu itu diputar di radio pasar. “Bila bertemu puaslah hatiku, sebab Mei Hwa sudah berdua.”
Aduh. Lagu itu. Lagu SMA mereka. Lagu yang dulu mereka dengar saat hujan turun deras dan listrik mati. Lagu yang dulu dianggap biasa. Tapi kini, seperti pisau.
Julay tahu. Ini bukan cerita India. Ia tidak akan menculik Mei dari suaminya. Ia hanya lelaki biasa yang tahu batas. Tapi juga tahu, ada cinta yang meski tak bisa dimiliki, tetap sah untuk dikenang.
Mereka berpisah. Dengan senyuman yang sama. Tapi kali ini, senyuman itu lebih dalam. Lebih penuh arti. Seperti perpisahan yang sudah direstui oleh seluruh semesta.
Julay pulang. Sendiri. Melewati jalan yang sama. Tapi kini terasa lebih lapang. Ia membawa kenangan itu seperti membawa lentera kecil. Tidak besar. Tapi cukup untuk menerangi hatinya.
Senja turun lagi. Di Sekadau. Seperti biasa. Tak pernah absen. Kali ini, langit lebih merah. Atau mungkin itu hanya perasaan Julay.
Ia duduk di pinggir Sungai Kapuas. Mengamati air. Mendengar angin. Menyaksikan seekor merpati yang melesat ke langit. Barangkali pulang ke sarang. Atau mungkin hanya ingin melihat dunia dari atas, sebelum malam menelan segalanya.
Ia tersenyum sendiri. Bukankah cinta, pada akhirnya, bukan soal memiliki, tapi soal menyisakan ruang di hati? Seperti senja, yang selalu hadir, meski tak pernah bisa digenggam.
Ciuman itu. Di ujung senja. Mungkin hanya satu detik. Tapi ada detik yang lebih panjang dari tahun.
Julay tahu: yang kekal bukan tubuh, tapi rasa. Bukan hadir fisik, tapi bekas dalam jiwa.
Ia tahu. Ia telah bahagia. Pernah bahagia. Dan kadang, itu lebih dari cukup.
Pontianak, Supadio. 26 Juli 2023
(Dan kenangan masih tinggal di Sekadau.)
0 Komentar