Laudato Si’ dan Pertobatan Ekologis Menghadapi Krisis Alam
| Perusak lingkungan perlu dihentikan dan melakukan pertobatan ekologis. ist. |
Kerusakan lingkungan di Indonesia menuntut pertobatan ekologis. Izin eksploitasi hutan harus dihentikan demi kemanusiaan dan keadilan.
Alam Indonesia mulai menunjukkan balasannya. Banjir bandang datang tanpa ampun. Tanah longsor menelan rumah dan harapan.
Sungai-sungai keruh membawa pesan getir bahwa kerusakan yang dibiarkan terlalu lama kini menagih konsekuensi. Inilah saat manusia berhenti pura-pura tuli.
Pertobatan ekologis bagi para perusak lingkungan
Pertobatan ekologis bukan perubahan kosmetik, melainkan perubahan cara hidup yang mengakui bumi sebagai subjek yang hidup. Lingkungan disebut “lingkungan hidup” karena ia memang hidup. Ia bisa terluka. Ketika ia meradang, peradaban ikut terguncang.
Karena itu, izin eksploitasi hutan tak boleh diperlakukan sebagai komoditas politik atau ekonomi. Setiap izin ikut menentukan nasib sungai, udara, tanah, dan manusia.
Demi keadilan, negara harus menghentikan seluruh skema pembabatan hutan tanpa kendali. Menunda hanya memperlebar jurang bencana. Bertindak berarti memilih hidup. Borneo, Indonesia, dan generasi mendatang membutuhkan keberanian moral itu sekarang.
Ketika banjir merendam ribuan rumah di Sumatera, longsor menutup jalan di Jawa Barat, dan kebakaran hutan menghitamkan langit Kalimantan, kita mesti bertanya: sampai kapan Indonesia terus terkejut oleh bencana yang sudah lama diperkirakan?
Pola kerusakan ini bukan peristiwa alam murni, melainkan sinyal keras dari bumi yang dieksploitasi tanpa jeda. Lebih dari enam dekade setelah perdebatan perubahan iklim dimulai, kita kini hidup dalam dampaknya. Kerentanan Indonesia kian besar ketika hutan dibuka, sungai menyempit, dan pesisir ditekan pembangunan masif.
Eko-teologi Laudato Si’
Dalam konteks inilah Laudato Si’, ensiklik Paus Fransiskus tentang “merawat rumah bersama”, menjadi sangat relevan. Kerusakan lingkungan bukan sekadar persoalan teknis, tetapi persoalan moral. Paus menolak memisahkan ekologi dari kemanusiaan. Kerusakan hutan di Kalimantan bukan sekadar hilangnya pohon; itu berarti hilangnya penyangga air, ancaman kesehatan, dan tekanan sosial yang merembet ke banyak wilayah.
Konsep “ekologi integral” menuntut perubahan cara pandang: relasi manusia–alam–pembangunan tidak boleh dipisah-pisah. Indonesia sering terjebak pada logika pembangunan cepat yang mengorbankan keseimbangan ekologis. Akibatnya, bencana hidrometeorologi menjadi rutinitas tahunan. Seruan Paus juga menyentil gaya hidup konsumtif yang mendorong pembukaan lahan besar-besaran tanpa menghitung daya dukung wilayah.
Ketika kebijakan menentukan nasib ekologi
Jika dibaca dalam terang Laudato Si’, banyak bencana di Indonesia adalah “bencana kebijakan”. Bukan hanya deforestasi, tetapi pelanggaran tata ruang, lemahnya pengawasan tambang, dan izin pembukaan lahan berorientasi laba jangka pendek.
Banjir berulang terjadi karena daerah resapan dipadatkan bangunan. Longsor muncul di lereng yang menanggung beban permukiman. Kebakaran lahan gambut terus terjadi karena ekosistem diubah paksa demi produksi. Paus Fransiskus menegaskan: keputusan politik harus berpihak pada masa depan bersama, bukan kepentingan sesaat. Seruan ini amat relevan di tengah ancaman perubahan iklim.
Ekologi yang dilatih, bukan diwacanakan
Merawat bumi bukan sekadar menanam pohon. Pertobatan ekologis menyentuh gaya hidup, kebijakan publik, dan etika sosial. Laudato Si’ menawarkan tiga praktik: hidup sederhana, berpihak pada yang rentan, dan membangun keberlanjutan. Untuk Indonesia, ini berarti memperbaiki tata ruang, menegakkan hukum, memberikan pendidikan ekologis sejak dini, serta memperkuat ketahanan warga di daerah rawan bencana.
Bencana bertubi-tubi adalah suara bumi. Kita ditantang menjawabnya dengan perubahan nyata. Laudato Si’ menjadi peta moral bagi semua, bukan hanya bagi Gereja.
Oligarki dan izin eksploitasi hutan
Izin eksploitasi hutan harus menjadi perhatian publik. Setiap izin adalah keputusan politik yang menentukan masa depan lingkungan. Karena itu, langkah kritis dari masyarakat, akademisi, dan lembaga independen mutlak diperlukan agar keputusan tersebut tidak lahir dalam ruang gelap.
Belakangan, izin eksploitasi hutan mencapai 1,64 juta hektare. Angka ini bukan statistik belaka; ia mewakili hamparan hutan tropis penyangga kehidupan yang kini menghadapi tekanan besar. Fungsinya sebagai penyerap karbon, habitat hayati, dan pelindung tata air semakin terancam.
Deforestasi sebagai akibat langsung dari perizinan itu tidak bisa diremehkan. Pohon tumbang. Tanah kehilangan daya serap. Sungai mengeruh. Satwa kehilangan ruang jelajah. Dalam jangka panjang, kerusakan ini mengguncang stabilitas sosial masyarakat adat yang hidup dari keseimbangan hutan.
Kerusakan terparah bukan akibat tindakan warga. Masyarakat adat justru berabad-abad menjaga hutan dengan kearifan ekologis. Ironisnya, stigma “perusak” kerap diarahkan kepada mereka, padahal pelaku utama adalah kekuatan modal yang diberi jalan lewat kebijakan negara.
Di sinilah wajah oligarki terlihat: mereka mengejar keuntungan sesaat dengan memanfaatkan akses politik untuk menguasai sumber daya alam. Kepentingan jangka pendek ini bertentangan dengan tanggung jawab ekologis jangka panjang.
Kritik yang tegas dan masukan mendalam adalah kewajiban moral masyarakat untuk menjaga hutan, penopang kehidupan Borneo dan Indonesia. Hutan tidak boleh menyusut hanya karena segelintir orang melihatnya sebagai ladang keuntungan.
Penulis: Sr. Felicia Tesalonika
0 Komentar