Vicariat Apostolik Batavia Mater Ecclesiae bagi Gereja Katolik di Nusantara
Vicariat Apostolik Batavia adalah Mater Ecclesiae bagi Gereja Katolik di Nusantara. Ist. |
Oleh Masri Sareb Putra, M.A.
Kalau bicara tentang sejarah Gereja Katolik di Indonesia, tidak dapat melewatkan Vicariat Apostolik Batavia. Vicariat itu kini dikenal sebagai Keuskupan Agung Jakarta.
Banyak orang menyebut Vicariat Apostolik Batavia sebagai Mater Ecclesiae, atau “Ibu Gereja”, bagi seluruh Gereja Katolik di Nusantara. Julukan ini bukan sekadar simbolis. Dari Batavia, benih iman Katolik tumbuh, bertahan, dan menyebar ke berbagai penjuru: dari Sumatra hingga Papua.
Sejarah panjangnya membentang sejak masa kolonial, penuh
penindasan, kebangkitan, hingga karya misi yang tak jarang berbau heroik.
Batavia bukan hanya pusat pemerintahan kolonial, melainkan juga jantung rohani
yang mengalirkan kehidupan bagi umat Katolik di kepulauan yang luas ini.
Dari Penindasan Menuju Kebangkitan
Abad ke-17 bukan masa mudah. VOC yang berkuasa kala itu
melarang Katolik dengan keras, demi memastikan Protestan tetap dominan.
Gereja-gereja dihancurkan, imam-imam diusir, bahkan ada yang mati syahid. Salah
satunya, Egidius d’Abreu, seorang Jesuit Portugis, yang pada 1624 dihukum mati
karena tetap melayani umat secara diam-diam di Batavia.
Namun iman tak serta-merta padam. Keturunan Portugis dan
komunitas Tionghoa tetap setia, meski harus beribadah secara sembunyi. Jalan
mulai terbuka ketika VOC melemah pada akhir abad ke-18. Tahun 1696 berdiri
Gereja Portugis di luar Batavia, sekarang dikenal sebagai Gereja Sion, yang
menjadi paroki pertama umat Katolik.
Masa pendudukan Prancis membawa angin segar. Paus Pius VII,
atas permintaan Napoleon, membuka kembali misi Katolik. Tanggal 8 Mei 1807
dibentuklah Prefektur Apostolik Hindia Belanda dengan pusat di Batavia. Dua
imam Belanda, Jacobus Nelissen dan Lambertus Prinsen, tiba setahun kemudian.
Nelissen menjadi prefek pertama dengan umat sekitar 2.000 orang.
Tahun 1842, statusnya naik menjadi Vicariat Apostolik
Batavia, dipimpin Mgr. Jacobus Grooff. Saat itu, umat telah mencapai 10.000
jiwa. Wilayahnya mencakup seluruh Nusantara, meski fokus di Jawa. Pembangunan
Katedral Santa Maria Assumpta pada 1830-an menandai hadirnya pusat rohani yang
kokoh di ibu kota kolonial.
Peran Sebagai Ibu Rohani
Sebutan Mater Ecclesiae lahir dari fungsi Batavia
sebagai “induk” yang mengasuh dan membimbing. Dari 1807 hingga awal abad ke-20,
seluruh Gereja Katolik di Indonesia berada di bawah satu atap kepemimpinan
Batavia. Di sinilah misi diatur, imam dikirim, dan strategi pastoral dirancang.
Sidang Waligereja pertama tahun 1924 di Jakarta menjadi
tonggak penting. Mgr. Petrus Willekens, S.J. memimpin pertemuan yang membagi
wilayah misi: Jesuit di Jawa, MSC di Maluku dan Nusa Tenggara, Kapusin di
Kalimantan, CICM di Sulawesi. Pembagian ini membuat pelayanan lebih teratur.
Dari sinilah muncul figur besar seperti Pastor Franciscus van Lith, S.J., yang
membaptis 178 orang Jawa di Sendangsono tahun 1904, awal mula kebangkitan iman
Katolik di Jawa Tengah.
Batavia juga perintis pendidikan. Tahun 1911, seminari
menengah pertama berdiri untuk mencetak imam lokal. Dari sinilah lahir Mgr.
Albertus Soegijapranata, uskup pribumi pertama, ditahbiskan pada 1940.
Seminari, sekolah, dan rumah sakit yang dibangun kala itu tidak hanya melayani
umat Katolik, melainkan juga masyarakat luas, menumbuhkan rasa keterbukaan yang
jadi ciri khas Gereja di Indonesia.
Pemekaran dan “Kelahiran” Gereja-Gereja Baru
Salah satu warisan terbesar Batavia adalah proses pemekaran
wilayah gereja. Dari “rahim” Batavia lahirlah banyak keuskupan. Tahun 1902
dibentuk Prefektur Maluku-Irian Jaya, cikal bakal Keuskupan Amboina. Tiga tahun
kemudian lahir Prefektur Borneo Belanda yang berkembang menjadi Keuskupan
Pontianak.
Gelombang pemekaran terus berlangsung: Sumatra (1911), Nusa
Tenggara (1913), Sulawesi (1919), hingga Surabaya (1928). Hingga akhirnya,
tahun 1961 Batavia sendiri resmi menjadi Keuskupan Agung Jakarta dengan Bandung
dan Bogor sebagai sufragan. Kini, 18 dari 38 keuskupan di Indonesia bisa
menelusuri akar sejarahnya ke Batavia.
Tokoh-tokohnya ikut membentuk wajah Gereja nasional. Mgr.
Grooff sebagai perintis, Mgr. Willekens sebagai penggerak pemekaran, Van Lith
sebagai “Rasul Jawa”, dan Soegijapranata sebagai pejuang Gereja sekaligus
bangsa. Tidak berlebihan bila dikatakan Batavia adalah “ibu” yang melahirkan
hampir seluruh wajah Gereja Katolik Indonesia modern.
Warisan yang Hidup Hingga Kini
Menjadi “ibu” bukan tanpa cobaan. Gempa 1890 meruntuhkan
katedral, tapi umat membangunnya kembali pada 1901. Masa pendudukan Jepang
menutup sekolah dan membatasi kebebasan, tetapi Gereja tetap bertahan. Setelah
kemerdekaan, Batavia, yang kemudian berganti nama menjadi Jakarta, menjadi
jembatan antara Gereja dan negara baru.
Kini Keuskupan Agung Jakarta melayani lebih dari tiga juta
umat. Katedralnya menjadi ikon nasional, tak hanya bagi Katolik tetapi juga
bagi kehidupan beragama di Indonesia. Melalui Konferensi Waligereja Indonesia
(KWI), Jakarta terus memainkan peran pengikat.
Julukan Mater Ecclesiae bukan sekadar tempelan
romantis di buku sejarah. Ia adalah napas yang masih berhembus hingga kini,
sebuah panggilan yang mengingatkan bahwa Gereja di Indonesia lahir dari rahim
Batavia yang sederhana. Dari sana, jejak perjalanan iman tumbuh, berakar, lalu
menjelma menjadi pohon besar yang menaungi banyak orang.
Batavia pada abad ke-19 tentu tak bisa dibandingkan dengan
Jakarta hari ini. Kota kecil dengan jalan berdebu, kanal-kanal yang sesekali
meluap, dan pelabuhan yang ramai oleh kapal asing. Namun justru dari titik
itulah, benih Gereja Katolik ditanam dengan kesetiaan dan kesabaran. Para
misionaris merintis dengan tenaga seadanya, sering kali menghadapi iklim keras
dan keterbatasan, tetapi mereka percaya pada visi yang lebih jauh: membangun
umat Allah di tanah nusantara.
Hari ini, buahnya terlihat jelas. Dari Batavia yang mungil,
kini tumbuh Gereja Katolik Indonesia yang besar dan kokoh. Ia hadir di
pelosok-pelosok negeri, dari Sabang sampai Merauke, dengan wajah yang
berbeda-beda tetapi tetap satu iman. Ia tidak lagi menjadi cabang kecil dari
Eropa, melainkan Gereja yang berdiri mandiri, dipimpin putra-putri bangsa
sendiri.
Angka yang tercatat juga bukan main. Tidak kurang dari 8,5
juta umat Katolik kini hidup dan bernafas di Indonesia. Mereka tersebar di
kota-kota besar, di pedalaman Kalimantan, di pesisir Flores, sampai pegunungan
Papua. Masing-masing membawa dinamika lokalnya sendiri, tetapi tetap merujuk
pada sumber yang sama: Kristus sebagai pusat iman.
Maka, Mater Ecclesiae bukan nostalgia. Ia adalah cermin sekaligus pengingat: bahwa Gereja di Indonesia lahir dari sesuatu yang kecil, namun mampu berkembang karena kesetiaan dan harapan. Julukan itu kini menjadi undangan bagi generasi baru untuk menjaga warisan iman, agar tetap menjadi sumber air segar di tengah tantangan zaman modern yang makin kompleks.
0 Komentar