Konsili, Cara Katolik Menyelesaikan Masalah Internal
| Gereja Katolik punya cara khusus menyelesaikan konflik internal lewat konsili. Ist. |
Ada satu pengalaman kecil yang selalu saya ingat. Waktu
masih SMP, di perpustakaan paroki, saya menemukan buku sejarah Gereja yang
sampulnya kusam. Halaman pertamanya membahas tentang Konsili Nicea.
Bagi seorang anak remaja yang terbiasa mendengar homili
singkat tiap Minggu, membaca kisah para uskup abad ke-4 yang bisa saling
memaki, bahkan ada catatan yang menyebut ada yang menampar lawan debatnya,
sungguh mengejutkan. Saya sempat bertanya dalam hati: kok bisa Gereja yang kini
terasa rapi, tertib, dan penuh liturgi yang indah, dulu pernah bergolak
sedemikian rupa?
Tetapi di situlah letak istimewanya. Gereja tidak pernah
steril dari konflik. Justru, sejak awal ia hidup dalam tarik-menarik: antara
iman dan akal budi, antara pewartaan dan politik kekuasaan, antara doktrin yang
diyakini dan kehidupan nyata umat. Maka diperlukan wadah untuk meredam dan
menyatukan. Konsili adalah jawabannya.
Konsili berarti pertemuan besar para uskup, dipanggil oleh
Paus, untuk mencari jalan keluar bersama atas masalah yang mengancam iman atau
disiplin. Jika masalahnya kecil, cukup ditangani oleh sinode lokal. Tetapi jika
menyangkut seluruh Gereja, barulah digelar konsili ekumenis. Di sanalah para
uskup dari berbagai negeri duduk bersama, berdebat panjang, mendengarkan
argumen, lalu merumuskan keputusan.
Gereja sejak awal menyadari satu hal: konflik tidak bisa
diabaikan. Jika dibiarkan, ia akan membelah tubuh Gereja. Maka lebih baik duduk
bersama, meski penuh perdebatan, daripada membiarkan perpecahan berlarut.
Konsili adalah bukti bahwa Gereja memilih bicara, bukan bungkam.
Dari Nicea ke Lateran
Sejarah mencatat Konsili Nicea tahun 325 sebagai tonggak
pertama. Kaisar Konstantinus, yang baru saja melegalkan agama Kristen, melihat
bahaya besar dari ajaran Arius. Arius menolak keilahian Yesus Kristus,
menyebutnya hanya makhluk ciptaan. Perdebatan ini mengguncang jemaat dari
Aleksandria sampai Antiokia.
Bayangkan suasananya: ribuan umat bingung, imam-imam
terbelah, bahkan ada keluarga yang pecah karena perbedaan pandangan soal siapa
sebenarnya Yesus. Di titik itulah Konstantinus memanggil para uskup ke kota
Nicea. Hasilnya adalah rumusan yang sampai kini kita kenal sebagai Syahadat
Nicea. Di situlah ditegaskan: Yesus Kristus sehakikat dengan Bapa, terang dari
terang, Allah benar dari Allah benar.
Bagi saya pribadi, momen ini seperti ketika sebuah keluarga
besar akhirnya duduk bersama di meja makan setelah sekian lama saling curiga.
Suaranya riuh, argumen keras, tetapi akhirnya ada keputusan yang menyatukan.
Lompatan ke abad pertengahan, cerita berubah. Pada tahun
1215, Paus Innocentius III memanggil Konsili Lateran IV. Saat membaca catatan
tentang konsili ini, saya membayangkan Roma yang hiruk-pikuk. Para uskup, imam,
biarawan, bahkan utusan kerajaan berkumpul. Topiknya? Bukan hanya teologi,
tetapi juga praktik simoni, moral para imam, hingga cara Gereja berhubungan
dengan orang Yahudi.
Konsili Lateran IV menetapkan 70 kanon atau aturan. Di
antaranya, setiap umat wajib mengaku dosa dan menerima komuni setidaknya sekali
setahun. Peraturan sederhana, tetapi dampaknya luar biasa. Ia menata ulang
hidup spiritual umat pada zaman ketika moralitas rohaniwan banyak
dipertanyakan.
Dari sini kita melihat bahwa konsili tidak hanya bicara soal
langit, tetapi juga soal bumi. Ia menyentuh hal-hal praktis yang memengaruhi
kehidupan umat setiap hari.
Trente: Rem Darurat di Tengah Reformasi
Abad ke-16 adalah masa badai. Martin Luther memaku 95 dalil
di Wittenberg. Gerakan Reformasi merebak. Gereja Katolik goyah. Umat
mempertanyakan ajaran soal indulgensi, keselamatan, bahkan otoritas Paus.
Di tengah guncangan itu, Gereja menggelar Konsili Trente
(1545–1563). Bagi saya, Trente adalah rem darurat. Bayangkan kereta besar yang
melaju kencang di rel yang patah. Jika tidak segera dihentikan, ia akan hancur
berkeping-keping.
Selama hampir dua dekade, para uskup, teolog, dan utusan
raja-raja berkumpul di kota Trento, Italia Utara. Mereka membahas soal
sakramen, justifikasi, Kitab Suci, dan Tradisi. Hasilnya monumental. Gereja
menegaskan kembali pentingnya tujuh sakramen. Menyatakan bahwa keselamatan
datang dari iman dan perbuatan, bukan iman saja. Menyusun Katekismus Romawi
yang kemudian menjadi pegangan ratusan tahun.
Yang menarik, Konsili Trente tidak hanya menjawab teologi.
Ia juga membenahi disiplin internal: imam diwajibkan mengikuti seminar
pendidikan, praktik simoni dikecam keras, dan liturgi distandardisasi. Dari
sinilah lahir Misa Tridentina yang bertahan hingga Konsili Vatikan II pada abad
ke-20.
Bagi saya pribadi, Trente adalah contoh nyata bagaimana
Gereja mampu menata dirinya di tengah krisis. Ia tidak menutup mata terhadap
kritik, meski keras. Ia juga tidak larut dalam perpecahan. Trente menegaskan
bahwa Gereja masih punya daya hidup untuk membarui diri.
Dari Vatikan I sampai Vatikan II: Belajar dengan Rendah Hati
Sejarah konsili berlanjut. Abad ke-19, Gereja menghadapi
tantangan modernitas: rasionalisme, ateisme, sekularisme. Paus Pius IX
memanggil Konsili Vatikan I (1869–1870). Dari sinilah lahir dogma infalibilitas
Paus, bahwa ketika berbicara ex cathedra tentang iman dan moral, Paus
dijaga dari kesalahan.
Banyak yang menilai keputusan ini kontroversial. Tetapi bagi
umat Katolik saat itu, ia memberi kepastian di tengah dunia yang semakin
meragukan agama.
Lalu abad ke-20, Paus Yohanes XXIII mengejutkan dunia dengan
memanggil Konsili Vatikan II (1962–1965). Ia berkata ingin membuka jendela
Gereja agar angin segar bisa masuk. Konsili ini mengubah wajah Gereja secara
radikal: liturgi memakai bahasa lokal, umat awam mendapat peran lebih, hubungan
dengan agama lain diperbarui.
Saya membayangkan suasana Basilika Santo Petrus saat itu:
para uskup dari Afrika, Asia, Amerika Latin, duduk sejajar dengan kolega dari
Eropa. Gereja benar-benar terasa universal. Keputusan-keputusan Vatikan II
hingga kini masih dirasakan dampaknya.
Konsili Vatikan II menunjukkan bahwa Gereja tidak takut
mengubah diri ketika zaman menuntut. Ia tetap setia pada iman, tetapi terbuka
terhadap dunia.
Bagaimana Konsili Bekerja
Kalau dilihat dari luar, konsili mungkin tampak seperti
sidang birokratis. Tetapi kalau kita ikuti prosesnya, ia adalah drama rohani
dan intelektual.
Pertama, Paus memanggil. Kedua, para uskup datang membawa
kegelisahan dari keuskupan masing-masing. Ketiga, mereka berdebat, kadang
sengit, kadang penuh diplomasi. Keempat, teks-teks dirumuskan dengan hati-hati.
Kata demi kata ditimbang. Satu istilah bisa diperdebatkan berhari-hari.
Akhirnya, Paus memberi restu. Tanpa persetujuan Paus,
keputusan konsili tidak sah. Setelah itu, hasilnya dikirim ke seluruh dunia.
Bagi saya, mekanisme ini adalah bentuk kerendahan hati
Gereja. Tidak ada yang bisa memutuskan sendirian. Paus butuh uskup. Uskup butuh
Paus. Dan umat menantikan arahan yang jelas.
Apa yang Kita Bisa Petik?
Sering kali saya bertanya pada diri sendiri: bagaimana jika
Gereja tidak pernah punya konsili? Mungkin ia sudah tercerai-berai sejak abad
ke-4. Mungkin ia tidak sanggup bertahan menghadapi badai Reformasi. Mungkin ia
akan kehilangan arah di abad modern.
Konsili memang tidak sempurna. Kadang dipengaruhi politik.
Kadang hasilnya ditolak atau diperdebatkan. Tetapi justru di situlah pelajaran
penting. Persatuan tidak datang dengan sendirinya. Ia diusahakan lewat dialog,
debat, bahkan konflik yang dikelola.
Dalam konteks Indonesia, saya sering membayangkan model
konsili ini bisa dipinjam. Bayangkan kalau setiap konflik politik atau sosial
ditangani dengan cara duduk bersama, mendengarkan, lalu memutuskan sesuatu yang
mengikat semua. Konsili mengajarkan bahwa jalan menuju persatuan bukan dengan
mengabaikan perbedaan, melainkan dengan berani membicarakannya.
Ada satu kalimat Paus Yohanes XXIII yang selalu terngiang: “Gereja tidak dipanggil untuk menjaga museum, melainkan untuk merawat kebun yang hidup.” Konsili adalah cara Gereja merawat kebun itu. Ia memang sering penuh gulma, tetapi juga selalu punya harapan untuk berbuah.
0 Komentar