Konsili, Cara Katolik Menyelesaikan Masalah Internal

Konsili, Cara Katolik Menyelesaikan Masalah Internal
Gereja Katolik punya cara khusus menyelesaikan konflik internal lewat konsili. Ist.
Oleh Masri Sareb Putra, M.A.

Ada satu pengalaman kecil yang selalu saya ingat. Waktu masih SMP, di perpustakaan paroki, saya menemukan buku sejarah Gereja yang sampulnya kusam. Halaman pertamanya membahas tentang Konsili Nicea.

Bagi seorang anak remaja yang terbiasa mendengar homili singkat tiap Minggu, membaca kisah para uskup abad ke-4 yang bisa saling memaki, bahkan ada catatan yang menyebut ada yang menampar lawan debatnya, sungguh mengejutkan. Saya sempat bertanya dalam hati: kok bisa Gereja yang kini terasa rapi, tertib, dan penuh liturgi yang indah, dulu pernah bergolak sedemikian rupa?

Tetapi di situlah letak istimewanya. Gereja tidak pernah steril dari konflik. Justru, sejak awal ia hidup dalam tarik-menarik: antara iman dan akal budi, antara pewartaan dan politik kekuasaan, antara doktrin yang diyakini dan kehidupan nyata umat. Maka diperlukan wadah untuk meredam dan menyatukan. Konsili adalah jawabannya.

Konsili berarti pertemuan besar para uskup, dipanggil oleh Paus, untuk mencari jalan keluar bersama atas masalah yang mengancam iman atau disiplin. Jika masalahnya kecil, cukup ditangani oleh sinode lokal. Tetapi jika menyangkut seluruh Gereja, barulah digelar konsili ekumenis. Di sanalah para uskup dari berbagai negeri duduk bersama, berdebat panjang, mendengarkan argumen, lalu merumuskan keputusan.

Gereja sejak awal menyadari satu hal: konflik tidak bisa diabaikan. Jika dibiarkan, ia akan membelah tubuh Gereja. Maka lebih baik duduk bersama, meski penuh perdebatan, daripada membiarkan perpecahan berlarut. Konsili adalah bukti bahwa Gereja memilih bicara, bukan bungkam.

Dari Nicea ke Lateran

Sejarah mencatat Konsili Nicea tahun 325 sebagai tonggak pertama. Kaisar Konstantinus, yang baru saja melegalkan agama Kristen, melihat bahaya besar dari ajaran Arius. Arius menolak keilahian Yesus Kristus, menyebutnya hanya makhluk ciptaan. Perdebatan ini mengguncang jemaat dari Aleksandria sampai Antiokia.

Bayangkan suasananya: ribuan umat bingung, imam-imam terbelah, bahkan ada keluarga yang pecah karena perbedaan pandangan soal siapa sebenarnya Yesus. Di titik itulah Konstantinus memanggil para uskup ke kota Nicea. Hasilnya adalah rumusan yang sampai kini kita kenal sebagai Syahadat Nicea. Di situlah ditegaskan: Yesus Kristus sehakikat dengan Bapa, terang dari terang, Allah benar dari Allah benar.

Bagi saya pribadi, momen ini seperti ketika sebuah keluarga besar akhirnya duduk bersama di meja makan setelah sekian lama saling curiga. Suaranya riuh, argumen keras, tetapi akhirnya ada keputusan yang menyatukan.

Lompatan ke abad pertengahan, cerita berubah. Pada tahun 1215, Paus Innocentius III memanggil Konsili Lateran IV. Saat membaca catatan tentang konsili ini, saya membayangkan Roma yang hiruk-pikuk. Para uskup, imam, biarawan, bahkan utusan kerajaan berkumpul. Topiknya? Bukan hanya teologi, tetapi juga praktik simoni, moral para imam, hingga cara Gereja berhubungan dengan orang Yahudi.

Konsili Lateran IV menetapkan 70 kanon atau aturan. Di antaranya, setiap umat wajib mengaku dosa dan menerima komuni setidaknya sekali setahun. Peraturan sederhana, tetapi dampaknya luar biasa. Ia menata ulang hidup spiritual umat pada zaman ketika moralitas rohaniwan banyak dipertanyakan.

Dari sini kita melihat bahwa konsili tidak hanya bicara soal langit, tetapi juga soal bumi. Ia menyentuh hal-hal praktis yang memengaruhi kehidupan umat setiap hari.

Trente: Rem Darurat di Tengah Reformasi

Abad ke-16 adalah masa badai. Martin Luther memaku 95 dalil di Wittenberg. Gerakan Reformasi merebak. Gereja Katolik goyah. Umat mempertanyakan ajaran soal indulgensi, keselamatan, bahkan otoritas Paus.

Di tengah guncangan itu, Gereja menggelar Konsili Trente (1545–1563). Bagi saya, Trente adalah rem darurat. Bayangkan kereta besar yang melaju kencang di rel yang patah. Jika tidak segera dihentikan, ia akan hancur berkeping-keping.

Selama hampir dua dekade, para uskup, teolog, dan utusan raja-raja berkumpul di kota Trento, Italia Utara. Mereka membahas soal sakramen, justifikasi, Kitab Suci, dan Tradisi. Hasilnya monumental. Gereja menegaskan kembali pentingnya tujuh sakramen. Menyatakan bahwa keselamatan datang dari iman dan perbuatan, bukan iman saja. Menyusun Katekismus Romawi yang kemudian menjadi pegangan ratusan tahun.

Yang menarik, Konsili Trente tidak hanya menjawab teologi. Ia juga membenahi disiplin internal: imam diwajibkan mengikuti seminar pendidikan, praktik simoni dikecam keras, dan liturgi distandardisasi. Dari sinilah lahir Misa Tridentina yang bertahan hingga Konsili Vatikan II pada abad ke-20.

Bagi saya pribadi, Trente adalah contoh nyata bagaimana Gereja mampu menata dirinya di tengah krisis. Ia tidak menutup mata terhadap kritik, meski keras. Ia juga tidak larut dalam perpecahan. Trente menegaskan bahwa Gereja masih punya daya hidup untuk membarui diri.

Dari Vatikan I sampai Vatikan II: Belajar dengan Rendah Hati

Sejarah konsili berlanjut. Abad ke-19, Gereja menghadapi tantangan modernitas: rasionalisme, ateisme, sekularisme. Paus Pius IX memanggil Konsili Vatikan I (1869–1870). Dari sinilah lahir dogma infalibilitas Paus, bahwa ketika berbicara ex cathedra tentang iman dan moral, Paus dijaga dari kesalahan.

Banyak yang menilai keputusan ini kontroversial. Tetapi bagi umat Katolik saat itu, ia memberi kepastian di tengah dunia yang semakin meragukan agama.

Lalu abad ke-20, Paus Yohanes XXIII mengejutkan dunia dengan memanggil Konsili Vatikan II (1962–1965). Ia berkata ingin membuka jendela Gereja agar angin segar bisa masuk. Konsili ini mengubah wajah Gereja secara radikal: liturgi memakai bahasa lokal, umat awam mendapat peran lebih, hubungan dengan agama lain diperbarui.

Saya membayangkan suasana Basilika Santo Petrus saat itu: para uskup dari Afrika, Asia, Amerika Latin, duduk sejajar dengan kolega dari Eropa. Gereja benar-benar terasa universal. Keputusan-keputusan Vatikan II hingga kini masih dirasakan dampaknya.

Konsili Vatikan II menunjukkan bahwa Gereja tidak takut mengubah diri ketika zaman menuntut. Ia tetap setia pada iman, tetapi terbuka terhadap dunia.

Bagaimana Konsili Bekerja

Kalau dilihat dari luar, konsili mungkin tampak seperti sidang birokratis. Tetapi kalau kita ikuti prosesnya, ia adalah drama rohani dan intelektual.

Pertama, Paus memanggil. Kedua, para uskup datang membawa kegelisahan dari keuskupan masing-masing. Ketiga, mereka berdebat, kadang sengit, kadang penuh diplomasi. Keempat, teks-teks dirumuskan dengan hati-hati. Kata demi kata ditimbang. Satu istilah bisa diperdebatkan berhari-hari.

Akhirnya, Paus memberi restu. Tanpa persetujuan Paus, keputusan konsili tidak sah. Setelah itu, hasilnya dikirim ke seluruh dunia.

Bagi saya, mekanisme ini adalah bentuk kerendahan hati Gereja. Tidak ada yang bisa memutuskan sendirian. Paus butuh uskup. Uskup butuh Paus. Dan umat menantikan arahan yang jelas.

Apa yang Kita Bisa Petik?

Sering kali saya bertanya pada diri sendiri: bagaimana jika Gereja tidak pernah punya konsili? Mungkin ia sudah tercerai-berai sejak abad ke-4. Mungkin ia tidak sanggup bertahan menghadapi badai Reformasi. Mungkin ia akan kehilangan arah di abad modern.

Konsili memang tidak sempurna. Kadang dipengaruhi politik. Kadang hasilnya ditolak atau diperdebatkan. Tetapi justru di situlah pelajaran penting. Persatuan tidak datang dengan sendirinya. Ia diusahakan lewat dialog, debat, bahkan konflik yang dikelola.

Dalam konteks Indonesia, saya sering membayangkan model konsili ini bisa dipinjam. Bayangkan kalau setiap konflik politik atau sosial ditangani dengan cara duduk bersama, mendengarkan, lalu memutuskan sesuatu yang mengikat semua. Konsili mengajarkan bahwa jalan menuju persatuan bukan dengan mengabaikan perbedaan, melainkan dengan berani membicarakannya.

Ada satu kalimat Paus Yohanes XXIII yang selalu terngiang: “Gereja tidak dipanggil untuk menjaga museum, melainkan untuk merawat kebun yang hidup.” Konsili adalah cara Gereja merawat kebun itu. Ia memang sering penuh gulma, tetapi juga selalu punya harapan untuk berbuah.

0 Komentar

Type above and press Enter to search.