Sejarah Singkat Gereja Katolik di Indonesia
| Sejarah Katolik di Nusantara juga mnegenal Misa ala era pra Konsili Vatikan II di mana imam membelakangi umat. Dok. KITV. |
Oleh Rangkaya Bada
Sejarah selalu punya cara unik untuk bercerita. Ia bukan sekadar deretan tanggal atau nama tokoh, melainkan kisah tentang manusia, keyakinan, dan perubahan zaman.
Begitu pula dengan jejak Gereja Katolik di Indonesia, yang tumbuh di tengah denyut sosial masyarakat, dari masa kolonial hingga era modern.
Sejarah sosial dan apa makna sejarah bagi masa kini dan masa datang
Dari sana kita bisa belajar, bahwa sejarah bukan hanya milik masa lampau. Ia hadir sebagai cermin bagi hari ini, bahkan kompas untuk menatap masa depan. Apa yang pernah dialami Gereja Katolik bersama masyarakat Indonesia memberi bekal untuk memahami tantangan kini, dan merancang arah perjalanan yang lebih bijak ke depan.Agama Katolik telah menjadi bagian tak terpisahkan dari mozaik keagamaan Indonesia, meskipun umatnya hanya mencapai sekitar 3,12% dari total penduduk nasional, atau lebih dari 8,3 juta jiwa berdasarkan data sensus 2018.
Sejarah Gereja Katolik di Indonesia mencerminkan perpaduan antara pengaruh kolonial Eropa, ketahanan masyarakat lokal, dan adaptasi terhadap dinamika sosial-politik modern. Dari kedatangan misionaris Portugis di abad ke-16 hingga peran aktif dalam pembangunan nasional pasca-kemerdekaan, Gereja Katolik telah menghadapi berbagai tantangan seperti penindasan kolonial, konflik agama, dan upaya harmonisasi dalam masyarakat multikultural.
Artikel ini akan menjelajahi
sejarah tersebut secara mendalam, dibagi menjadi empat periode utama,
berdasarkan sumber-sumber terpercaya seperti arsip sejarah, dokumen Vatikan,
dan studi akademis. Dengan pemahaman ini, kita dapat melihat bagaimana Gereja
Katolik tidak hanya bertahan, tetapi juga berkontribusi pada pendidikan,
kesehatan, dan dialog antaragama di Indonesia, sesuai dengan semangat Pancasila
yang menekankan persatuan dalam keragaman.
Awal Kedatangan
Agama Katolik melalui Bangsa Portugis
Penyebaran agama Katolik di Indonesia dimulai pada abad ke-16, bersamaan dengan ekspedisi bangsa Portugis yang mencari rempah-rempah di Nusantara. Portugis, sebagai negara Katolik yang taat, menggabungkan ambisi ekonomi dengan misi evangelisasi, dikenal sebagai "3G":
Gold (kekayaan), Glory (kejayaan), dan Gospel (penyebaran Injil). Mereka merebut Malaka pada 1511, yang menjadi pintu masuk ke wilayah Indonesia timur, khususnya Kepulauan Maluku. Di sana, Portugis membangun benteng-benteng yang tidak hanya berfungsi sebagai pusat perdagangan dan militer, tetapi juga sebagai basis penyebaran agama Katolik. Kesultanan Ternate awalnya menyambut Portugis karena aliansi melawan Tidore, sehingga memungkinkan misionaris beroperasi dengan leluasa.
Bukti arkeologi, seperti reruntuhan gereja Portugis di Maluku, menunjukkan betapa dalamnya akar Katolik di sana. Secara keseluruhan, era Portugis membawa sekitar 10.000-20.000 umat Katolik baru, meskipun angka ini sulit diverifikasi karena kurangnya catatan lengkap. Pengaruh ini juga terlihat dalam bahasa dan budaya, seperti penggunaan kata "gereja" dari bahasa Portugis "igreja".
Masa Penindasan di Bawah Kekuasaan VOC
Abad ke-17 menandai era gelap bagi Gereja Katolik di Indonesia dengan kedatangan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), kongsi dagang Belanda yang berbasis Protestan Calvinis. VOC merebut Ambon dari Portugis pada 1605, diikuti penguasaan atas wilayah-wilayah strategis lainnya. Kebijakan VOC adalah mempromosikan Protestanisme sambil menekan Katolik, yang dianggap sebagai warisan musuh Portugis dan Spanyol. Imam-imam Katolik diusir, gereja-gereja dirampas dan diubah menjadi gereja Protestan, serta umat dipaksa pindah agama. Di Manado dan Kepulauan Sangihe-Talaud, ribuan umat Katolik dipaksa menjadi Protestan melalui pendidikan sekolah VOC yang wajib.
Gereja Katolik hanya bertahan di daerah di luar kendali VOC, seperti Flores timur dan Timor, di mana traktat 1859 antara Belanda dan Portugis menjamin kebebasan misi Katolik di Larantuka. Di sana, umat mempertahankan iman melalui praktik lay-led seperti Confreria Reinha Rosario, yang mengorganisir prosesi rosario dan Semana Santa tanpa imam. Di Jawa dan Sumatera, umat Katolik menyembunyikan identitas mereka, beribadah secara rahasia, atau berasimilasi dengan masyarakat Muslim.
Kebangkitan dan Perkembangan di Era Hindia Belanda
Setelah kekalahan Napoleon pada 1815, Belanda mengadopsi kebijakan kebebasan beragama lebih liberal di Hindia Belanda. Pada 8 Mei 1807, Paus Pius VII mendirikan Prefektur Apostolik Hindia Belanda di Batavia, dengan Pastor Jacobus Nelissen sebagai Prefek Apostolik pertama pada 1808. Status ini dinaikkan menjadi Vikariat Apostolik pada 1842, dan misi diserahkan ke Serikat Yesus pada 1851. Ini membuka era kebangkitan, di mana misionaris dari Eropa datang dalam jumlah besar.
Pastor Frans van Lith SJ menjadi pionir di Jawa Tengah. Tiba pada 1896, ia mendirikan sekolah di Muntilan pada 1900 dan membaptis 178 orang Jawa pertama di Sendangsono pada 1904, yang kini menjadi situs ziarah. Van Lith juga mendirikan Yayasan Kanisius pada 1918 untuk penerbitan buku dan pendidikan, yang berkontribusi besar dalam inkulturasi Katolik dengan budaya Jawa. Ia belajar bahasa Jawa, menghormati adat, dan mendorong umat terlibat dalam perjuangan nasional.
Paus Leo XIII dan Pius X membentuk prefektur apostolik baru: Maluku (1902), Kalimantan (1905), Sumatera (1911), dan Sulawesi (1919). Ordo seperti MSC (Missionaries of the Sacred Heart), OFMCap (Kapusin), SVD (Society of the Divine Word), dan lainnya dibagi tugas wilayah. Seminari Menengah pertama didirikan pada 1911 di Muntilan, menghasilkan imam pribumi pertama seperti Romo F.X. Satiman SJ pada 1926, diikuti Adrianus Djajasepoetra SJ dan Albertus Soegijapranata SJ, yang menjadi uskup pertama Indonesia pada 1940.
Periode ini melihat
pertumbuhan eksponensial: dari 1,3 juta umat pada 1960 menjadi 5 juta pada
1990. Gereja membangun sekolah, rumah sakit, dan universitas seperti
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya (1965). Tantangan tetap ada, seperti
larangan misi di Yogyakarta hingga 1891 dan diskriminasi terhadap umat Tionghoa
Katolik. Selama pendudukan Jepang (1942-1945), misionaris ditahan, tapi umat
lokal mempertahankan gereja.
Gereja Katolik di Indonesia Pasca-Kemerdekaan
Pasca-proklamasi kemerdekaan 1945, Gereja Katolik mendukung Republik Indonesia. Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia (KUKSI) pertama di Yogyakarta pada 1949 menjadi dasar Sidang Agung Gereja. Pada 1955, Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI) dibentuk, dan hierarki gereja didirikan oleh Paus Yohanes XXIII pada 1961 melalui konstitusi Quod Christus, dengan 6 keuskupan agung dan 20 keuskupan sufragan. Konsili Vatikan II (1962-1965) membawa reformasi, seperti liturgi dalam bahasa Indonesia dan penekanan dialog antaragama.
Di era Orde Baru
Suharto (1966-1998), Gereja aktif dalam bantuan sosial pasca-G30S 1965,
mendistribusikan makanan dan mendirikan koperasi. Namun, pemerintah membatasi
misionaris asing pada 1970-an, mendorong indigenisasi. Jumlah umat bertambah,
terutama di kalangan Tionghoa dan Jawa, meskipun ada kekerasan seperti
pembakaran gereja di Maluku (1999-2002). MAWI berganti menjadi Konferensi
Waligereja Indonesia (KWI) pada 1986. Paus Yohanes Paulus II berkunjung pada
1989, disambut jutaan umat, memperkuat hubungan dengan pemerintah.
Hubungan ekumenis dan interreligius meningkat, seperti melalui Caritas Indonesia (2006) untuk bantuan kemanusiaan. Saat ini, umat Katolik berjumlah 8,6 juta, terpusat di Nusa Tenggara Timur (53,56%). Hierarki mencakup 10 keuskupan agung, 28 keuskupan sufragan, dan satu ordinariat militer, dengan tiga kardinal. Gereja aktif di pendidikan (ribuan sekolah), kesehatan (ratusan rumah sakit), dan promosi perdamaian, seperti di Papua dan Aceh.
Sejarah ini menunjukkan ketahanan Gereja dalam menghadapi kolonialisme, penindasan, dan modernisasi, sambil berkontribusi pada bangsa melalui nilai-nilai kasih dan keadilan sosial.
Rangkaya Bada adalah penulis nasional, pegiat literasi, dan periset.
0 Komentar