Sejarah Katolik di Nusantara: Dari Era Kolonial hingga Zaman Modern

Sejarah Katolik Nusantara
Wajah Gereja Katolik di Nusantara, tepatnya Borneo, di masa lampau. Dokpri.

Oleh
Rangkaya Bada

Agama Katolik telah menjadi bagian penting dari keragaman agama di Indonesia, dengan sejarah panjang yang dimulai sejak abad ke-16. Penyebaran Katolik di Nusantara dipengaruhi oleh dinamika kolonialisme, perjuangan kemerdekaan, dan perkembangan politik serta sosial di Indonesia.

Artikel ini menelusuri sejarah Katolik di Nusantara sejak kedatangannya, kondisinya selama era kolonial Portugis dan Hindia Belanda, perkembangannya pada masa kemerdekaan, Orde Baru, Reformasi, hingga situasi terkini, dengan analisis mendalam berdasarkan sumber-sumber terverifikasi.

Sejak Kapan Katolik Ada di Nusantara?

Katolik pertama kali masuk ke Nusantara pada awal abad ke-16 melalui kedatangan bangsa Portugis, yang menjadi pelopor penyebaran agama Katolik di wilayah ini. Portugis tiba di Malaka pada tahun 1511 di bawah pimpinan Afonso de Albuquerque, yang dikenal sebagai arsitek utama ekspansi Portugis ke Asia. Mereka membawa misi "3G" (Gold, Glory, Gospel), yang mencakup pencarian kekayaan, kejayaan, dan penyebaran agama Katolik Roma. 

Setelah menguasai Malaka, Portugis memperluas pengaruhnya ke Kepulauan Maluku, pusat perdagangan rempah-rempah, pada tahun 1512 melalui ekspedisi yang dipimpin oleh Antonio de Abreu. Di Maluku, khususnya di Ternate, Ambon, dan Solor, mereka mendirikan pos perdagangan dan misi Katolik, yang menjadi titik awal penyebaran agama Katolik di Nusantara.

Penyebaran Katolik awal ini terfokus di Indonesia Timur, di mana Portugis membangun benteng dan misi keagamaan. Mereka bekerja sama dengan penguasa lokal untuk menyebarkan ajaran Katolik, meskipun sering kali menghadapi resistensi dari komunitas Muslim yang sedang berkembang pesat.

 Pengaruh budaya Portugis juga terlihat dari introduksi balada keroncong dan kata-kata serapan seperti "bendera" dan "meja." Namun, penyebaran Katolik tidak signifikan di wilayah barat Nusantara, seperti Jawa, karena dominasi kerajaan Islam seperti Demak dan Banten, yang menentang kehadiran Portugis.

Kondisi Katolik Selama Era Kolonial

Era Kolonial Portugis (1511–1602)

Selama era kolonial Portugis, Katolik disebarkan melalui pendirian misi, benteng, dan sekolah-sekolah kecil di wilayah yang mereka kuasai, terutama di Maluku, Flores, dan Solor. Portugis berusaha mengkristenkan penduduk lokal sebagai bagian dari strategi kolonial mereka, tetapi upaya ini sering terhambat oleh hubungan buruk dengan penguasa lokal, seperti Sultan Ternate, akibat pendekatan kristenisasi yang dianggap tidak sopan. Sekolah-sekolah kecil didirikan untuk mengajarkan membaca, menulis, dan doa-doa Katolik, meskipun dampaknya terbatas. 

Pengaruh Portugis menurun pada akhir abad ke-16 karena kekalahan di Ternate (1575) dan penaklukan Belanda atas Ambon dan Banda. Pada tahun 1602, kehadiran Portugis di Nusantara sebagian besar terbatas pada Timor Timur, Flores, dan Solor.

Era Hindia Belanda (1602–1800)

Kedatangan Belanda melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) pada tahun 1602 mengubah lanskap keagamaan di Nusantara. VOC, yang mayoritas beragama Protestan, menerapkan kebijakan anti-Katolik yang ketat. Para imam Katolik Portugis diusir, dan aktivitas misionaris Katolik dilarang di wilayah kekuasaan VOC, seperti Batavia dan Ambon. Imam Katolik yang tertangkap bisa menghadapi hukuman mati, seperti Pastor Egidius d'Abreu SJ, yang dieksekusi pada tahun 1624 di Kastel Batavia karena tetap mengajar agama. 

Meskipun demikian, komunitas Katolik kecil bertahan di wilayah yang tidak sepenuhnya dikuasai VOC, seperti Flores dan Timor Timur. Di Batavia, keturunan Portugis yang dikenal sebagai "Mardijker" membentuk komunitas Katolik di Kampung Tugu, Jakarta Utara, meskipun sering dipaksa beralih ke Protestan.

Pada awal abad ke-19, kebebasan beragama mulai diakui setelah perubahan politik di Belanda, khususnya di bawah Raja Louis Napoleon, seorang Katolik. Pada 8 Mei 1807, Prefektur Apostolik Hindia Belanda didirikan dengan persetujuan Raja Louis Napoleon, menandai langkah awal kebangkitan Katolik. Pastor Nelissen, prefek apostolik pertama, mendapat izin untuk membangun gereja di Batavia, menggunakan lahan bekas kediaman Gubernur Jenderal di Lapangan Banteng, yang dibeli dengan harga 20,000 gulden (dengan diskon 10,000 gulden dan pinjaman 8,000 gulden tanpa bunga). Namun, gereja ini hancur akibat kebakaran pada 27 Juli 1826 dan roboh karena masalah struktur pada 31 Mei 1890, memaksa pembangunan ulang yang selesai pada 1901 sebagai Gereja Katedral Jakarta, dirancang dengan gaya neo-gotik oleh Pastor Antonius Dijkmans dan diselesaikan oleh arsitek M.J. Hulswit.

Katolik pada Era Kemerdekaan (1945–1965)

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, umat Katolik memainkan peran penting dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Pada tahun 1939, Seminari Tinggi Yogyakarta didirikan untuk melatih imam pribumi, menjadi tonggak pengembangan kepemimpinan Katolik lokal. Pada tahun 1940, Uskup Albertus Soegijapranata ditahbiskan sebagai Vikaris Apostolik pertama di Indonesia untuk Vikariat Apostolik Semarang, menjadi simbol kebanggaan umat Katolik Indonesia. Selama pendudukan Jepang (1942–1945), banyak imam Belanda ditahan, sehingga pelayanan gereja bergantung pada tenaga pribumi. Setelah kemerdekaan, umat Katolik menyelenggarakan Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia (KUKSI) pada tahun 1949 di Yogyakarta, yang membahas pembentukan Partai Katolik, yang kemudian berpartisipasi dalam Pemilu 1955.

Pada masa Orde Lama di bawah Presiden Soekarno, Katolik terus berkembang meskipun menghadapi tantangan politik, seperti konfrontasi dengan Malaysia dan peristiwa G30S/PKI pada tahun 1965. Gereja Katolik fokus pada pendidikan dan pelayanan sosial, mendirikan sekolah-sekolah dan rumah sakit yang menjadi pilar penting dalam komunitas.

Katolik pada Era Orde Baru (1966–1998)

Era Orde Baru di bawah Presiden Soeharto ditandai dengan stabilitas politik dan pembangunan ekonomi, tetapi juga kontrol ketat terhadap kehidupan beragama. Gereja Katolik berkembang melalui pendirian sekolah, universitas, dan rumah sakit, seperti Universitas Atma Jaya dan Rumah Sakit St. Carolus. Namun, umat Katolik menghadapi tantangan, seperti kesulitan mendapatkan izin pembangunan gereja di beberapa daerah mayoritas Muslim. Kebijakan Pancasila sebagai asas tunggal memberikan ruang bagi Katolik, tetapi juga menimbulkan ketegangan sosial, seperti stereotip bahwa Katolik terkait dengan warisan kolonial Belanda. Gereja Katolik tetap aktif dalam pelayanan sosial dan pendidikan, serta memperkuat identitasnya melalui Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).

Pada tahun 1988, Gereja Katedral Jakarta mengalami pemugaran besar untuk memperbaiki kerusakan dan lumut, serta membangun gedung pastoran dan pertemuan baru. Pemugaran ini diresmikan pada 13 Agustus 1988 oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Soepardjo Roestam, dengan konser orgel oleh Hub Wolfs dan Pastor Alfons Kurris, seorang dosen konservatorium dari Maastricht.

Katolik pada Era Reformasi (1998–Sekarang)

Era Reformasi setelah jatuhnya Soeharto pada tahun 1998 membawa kebebasan beragama yang lebih besar. Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mendukung pluralisme, misalnya dengan meresmikan gereja Katolik di Surabaya bersamaan dengan Masjid Nasional Al-Akbar. Namun, tantangan seperti munculnya kelompok intoleran dan aturan "kerukunan beragama" sejak 2006 menyulitkan pembangunan gereja di beberapa daerah. Umat Katolik tetap aktif dalam politik dan sosial, dengan tokoh seperti Sumarlin, Cosmas Batubara, Frans Seda, Ignasius Jonan, Krissantono, AB Susanto, mereka  memberikan kontribusi signifikan. Gereja Katolik juga memperluas peran sosialnya melalui organisasi seperti Caritas Indonesia dan pendidikan melalui institusi seperti Kolese Kanisius dan Universitas Sanata Dharma.

Katolik di Zaman Sekarang

Hingga tahun 2025, Katolik tetap menjadi bagian integral dari keragaman agama di Indonesia, dengan jumlah umat tidak kurang dari 8 juta, atau sekitar 3% dari populasi. Katolik merupakan agama mayoritas di Ende, Flores, sebagian besar Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Barat, khususnya di kabupaten seperti Landak, Sanggau, Sekadau, Sintang, dan Kapuas Hulu. Di wilayah-wilayah ini, Katolik memengaruhi budaya lokal, termasuk tradisi keagamaan dan pendidikan. Gereja Katolik terus berkembang melalui pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kegiatan kemanusiaan, meskipun menghadapi tantangan seperti diskriminasi dan kesulitan izin pembangunan gereja, sebagaimana tercatat dalam laporan tentang intoleransi agama di beberapa daerah.

Di Jakarta, Gereja Katedral Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga, yang diresmikan pada 21 April 1901, tetap menjadi pusat kegiatan Katolik. Katedral ini, dengan arsitektur neo-gotik yang dirancang oleh Pastor Antonius Dijkmans dan diselesaikan oleh M.J. Hulswit, memiliki sejarah panjang, termasuk kebakaran pada 1826 dan keruntuhan struktural pada 1890. Pastor Rudolf Kurris, S.J., seorang imam Yesuit kelahiran Maastricht (1929), berperan besar dalam pelestarian sejarah katedral. Sebagai pastor kepala (1985–1993), Kurris mendirikan Museum Katedral, yang diresmikan pada 28 April 1991 oleh Uskup Agung Julius Darmaatmadja, S.J. Museum ini, awalnya di balkon katedral dan kini di pastoran lama di Plaza Maria, menyimpan artefak seperti buku misa Latin pra-Vatikan II dan relik dari awal Katolik di Batavia. Kurris juga menulis Sejarah Seputar Katedral Jakarta (2001), yang mendokumentasikan sejarah katedral dan perkembangan Katolik di Jakarta, termasuk peran Prefektur Apostolik Hindia Belanda sejak 1807. Buku ini, yang diakui memiliki nilai ilmiah dan historis, menjadi sumber penting untuk memahami warisan Katolik di ibu kota.

Dialog antaragama melalui Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) terus ditingkatkan, dan Gereja Katolik beradaptasi dengan teknologi, seperti misa daring dan pendidikan agama digital, sejalan dengan ajaran Paus Fransiskus tentang isu global seperti perubahan iklim dan keadilan sosial.

Sejarah Katolik di Nusantara mencerminkan perjalanan panjang yang penuh tantangan dan adaptasi. Dari kedatangan Portugis pada abad ke-16 hingga era modern, Katolik telah menghadapi penindasan, diskriminasi, dan konflik, tetapi juga membangun fondasi kuat melalui pendidikan, pelayanan sosial, dan dialog antaragama. 

Dengan lebih dari 8 juta umat dan kehadiran kuat di wilayah seperti NTT, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Barat, serta institusi seperti Gereja Katedral Jakarta yang diperkaya oleh kontribusi Pastor Kurris, Katolik tetap relevan dalam identitas keagamaan Indonesia, meskipun tantangan intoleransi masih ada.

Penulis adalah seorang pegiat dan pelaku literasi nasional, peneliti, penulis, dan mengelola beberapa media digital.

Sumber:

 

0 Komentar

Type above and press Enter to search.