Sejarah Gereja Katolik di Borneo

 

Pastor Anton OFM Cap tourne ke kampun di pedalaman Borneo.
Sejarah Katolik Kalimantan mulai intens tahun 1905. Penampakan pastor Anton Daem OFM Cap torune ke pelosok Kalbar tahun 1970-an.

Oleh: Sr. Tanti Yosefa

Gereja Katolik telah menorehkan jejak panjang di Pulau Borneo, terutama di wilayah Borneo Barat atau Kalimantan Barat, Indonesia. Sejarah ini mencerminkan perpaduan antara semangat misionaris Eropa, adaptasi budaya masyarakat Dayak, pengaruh komunitas Tionghoa, dan dinamika kolonialisme Belanda.

Dari kunjungan awal abad ke-14 hingga perkembangan modern, Gereja Katolik bukan hanya menjadi institusi keagamaan, melainkan juga pilar pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan sosial. 

Secara periodik, kita dapat membagi sejarah tersebut menjadi empat periode utama, berdasarkan tonggak administratif dan perubahan politik. Sumber-sumber yang digunakan berasal dari dokumen resmi Ordo Kapusin, arsip keuskupan, dan majalah Hidup untuk memastikan akurasi dan keandalan.

Periode Awal Kedatangan Misionaris (1313-1905): Jejak Pertama di Tanah Terpencil

Bayangkan seorang biarawan Italia bernama Odorico de Pordone yang melintasi lautan luas pada abad ke-14. Pada 1313, ia singgah di Borneo selama perjalanan epiknya dari Eropa ke Cina, melewati kerajaan Majapahit. Catatan perjalanannya menyebut Sumatra, Jawa, dan Borneo, tapi kunjungan ini lebih bersifat eksplorasi daripada misi konversi. Tidak ada bukti signifikan tentang pembaptisan atau pendirian komunitas Kristen saat itu, karena Borneo masih didominasi oleh kepercayaan animisme dan pengaruh kerajaan lokal.

Abad ke-16 membawa angin baru dengan kedatangan Portugis, yang membawa agama Katolik ke Nusantara. Namun, fokus mereka tertuju pada Maluku dan Jawa, bukan Borneo yang terisolasi. Baru pada abad ke-17, Pastor Antonio Ventimiglia dari Kongregasi Theatin tiba di Borneo pada 1687 atas perintah Paus Innocentius XI. Sayangnya, misi ini tidak bertahan lama akibat kurangnya dukungan dan konflik dengan penguasa setempat. Dominasi Islam di pantai utara Borneo semakin menyulitkan penyebaran Kristen.

Perkembangan lebih konkret muncul di abad ke-19, seiring ekspansi kolonial Belanda. Konkordat 1847 antara Vatikan dan Belanda membuka pintu bagi misi Katolik di wilayah non-Muslim. Mgr. Vrancken dari Vikaris Apostolik Batavia berkoordinasi dengan Ordo Jesuit untuk menjelajahi Kalimantan. Pastor Sanders melakukan survei pada 1851-1853, diikuti Pastor van Grinten pada 1862 yang mendekati suku Dayak.

Tahun 1865 menjadi momen penting: Pastor de Vries bertemu seorang Tionghoa Katolik dan lima katekumen di Singkawang. Komunitas Tionghoa migran dari Bangka atau Malaya menjadi basis umat pertama. Kunjungan intensif berlanjut pada 1872-1874 oleh Pastor Timmermans dan de Vries ke Pontianak, Sintang, Bengkayang, Sambas, Singkawang, dan Monterado. Di Singkawang, 51 umat Tionghoa dibaptis, dan gereja sederhana dibangun atas sumbangan tanah seorang wanita Tionghoa.

Pada 1880, jumlah umat mencapai 110 orang, mayoritas di Singkawang. Gubernur Jenderal van Rees mengizinkan pendirian stasi Singkawang pada 1885, mencakup seluruh Kalimantan Barat dengan 150 umat Tionghoa dan 100 di Belitung. Pastor Staal SJ menjadi pastor paroki pertama, fokus pada misi Dayak di Bengkayang dan Sebalau. Pada 1890, Pastor H. Looymans mendirikan stasi Sejiram di tepi Sungai Sebruang, dan Gereja Santo Fidelis dibangun pada 1892 yakni gereja Katolik tertua di Kalimantan Barat.

Toh demikian, tantangan besar: Pada 1897, misi sempat terhenti karena kekurangan tenaga, dengan pastor ditarik ke Batavia. Larangan misi ganda oleh Belanda dan persaingan dengan Zending Protestan menjadi hambatan. Meski begitu, periode ini meletakkan fondasi, dengan umat awal dari Tionghoa dan Dayak yang tertarik pada pendidikan serta bantuan sosial misionaris.

Periode Pengembangan Misi Prefektur (1905-1938): Dari Misi Kecil ke Struktur Formal

Transisi ke abad ke-20 membawa organisasi yang lebih matang. Pada 11 Februari 1905, Vatikan mendirikan Prefektur Apostolik Borneo Belanda, memisahkannya dari Vikariat Apostolik Batavia. Pasifikus Bos OFM Cap ditunjuk sebagai prefek pertama. 

Enam misionaris Kapusin tiba di Singkawang pada November 1905, termasuk Eugenius van Disseldrop dan Beatus Baijens. Fokus mereka: Komunitas Tionghoa di pantai dan Dayak di pedalaman, dengan pendirian sekolah serta rumah sakit untuk menarik konversi.

Di Pontianak, gereja sementara dibangun pada 1908, dan Katedral Santo Yosef diberkati pada 9 Desember 1909. Arsitekturnya unik: Memadukan gaya Romawi, Timur Tengah, Dayak, Cina, dan Eropa—simbol keragaman budaya Kalimantan Barat. Sekolah Nyarumkop didirikan pada 1916 untuk pendidikan, sementara benih karet unggul diperkenalkan di Sejiram guna pemberdayaan ekonomi Dayak. Misi menyebar ke Sintang, dengan Gereja Kristus Raja sebagai pusat.

Peningkatan status terjadi pada 13 Maret 1918: Prefektur menjadi Vikariat Apostolik Borneo Belanda. Mgr. Jan Pacificus Bos ditahbiskan sebagai uskup pada 17 November 1918. Pembangunan gereja di Ketapang dimulai pada 1920, meski Perang Dunia I membatasi pasokan. Gereja berkontribusi pada identitas Dayak melalui pendidikan, melahirkan generasi intelektual pertama. Jumlah umat melonjak dari ratusan menjadi ribuan, dengan kebijakan menghindari konflik dengan Islam.

Periode ini juga melihat keterlibatan politik: Pembentukan Partai Persatuan Dayak memperkuat kesatuan etnis di bawah pengaruh Katolik. Tantangan seperti konflik etnis tak menyurutkan langkah, malah menjadikan gereja sebagai jembatan sosial.

Periode Konsolidasi Vikariat dan Keuskupan (1938-1961): Di Tengah Gejolak Perang dan Kemerdekaan

Tahun 1938 menandai perubahan nama menjadi Vikariat Apostolik Pontianak, dengan Pontianak sebagai pusat. Mgr. Tarcisius Henricus Josephus van Valenberg OFM Cap memimpin hingga 1957, diikuti Herculanus Joannes Maria van der Burgt OFM Cap. Pendudukan Jepang (1942-1945) menghentikan misi; misionaris ditahan, tapi umat lokal mempertahankan iman.

Pasca-perang, gereja mendukung rekonstruksi. Keuskupan Ketapang dan Sintang dipisah pada 1950-an. Puncaknya: Pada 3 Januari 1961, vikariat menjadi Keuskupan Agung Pontianak, dengan Mgr. Herculanus sebagai uskup agung pertama. Ini selaras dengan semangat nasionalisme Indonesia pasca-kemerdekaan.

Kontribusi sosial meluas: Rumah sakit, kursus keterampilan, dan dialog antaragama. Di Kalimantan Barat, Katolik menjadi kekuatan bagi Dayak; alumni sekolah misi jadi pemimpin politik. Jumlah umat capai puluhan ribu, dengan 29 paroki. Konflik etnis Madura-Dayak pada 1950-an diatasi gereja sebagai mediator.

Periode Modern dan Tantangan Kontemporer (1961-Sekarang): Menuju Harmoni dan Pembangunan Berkelanjutan

Sejak 1961, Keuskupan Agung Pontianak menjadi metropolit atas Keuskupan Sanggau, Sintang, dan Ketapang. Wilayahnya luas 39.840 km², dengan 722.760 umat (22,4% populasi) pada 2021. Uskup Agustinus Agus OP, memimpin sejak 2014, menekankan misi inklusif: Pendidikan, kesehatan, dan ekonomi, sesuai Gaudium et Spes.

Era reformasi membawa tantangan: Sekularisme, konflik etnis (1997-1999), dan pandemi COVID-19. Namun, gereja tetap aktif. Pada 2023, Uskup Agung Pontianak, Agustinus menyoroti peran gereja dalam "Indonesia Emas" melalui harmoni sosial. Di Borneo luas, paralel dengan misi di Sarawak-Sabah (Malaysia) oleh Mill Hill Missionaries sejak 1881, tapi di Borneo Barat, integrasi budaya Dayak jadi kunci.

Saat ini, gereja hadapi isu lingkungan seperti deforestasi, berkolaborasi dengan pemerintah untuk pembangunan berkelanjutan. Dengan 110 imam dan 29 paroki, sejarah ini bukan sekadar konversi, tapi pemberdayaan di tengah keragaman.

Sejarah Gereja Katolik di Borneo Barat mengajarkan ketangguhan iman di tanah tropis. Dari misi kecil hingga kekuatan sosial, ia terus berkontribusi bagi masyarakat.

Kini umat Katolik di wilayah Keuskupan Agung Pontianak sekitar 700.000. Mereka terdiri dari berbagai etnis yang ada di Indonesia, utamanya Dayak, Tionghoa, Jawa, Manado, Flores, dan lain sebagainya.


Pustaka

Archdiocese of Pontianak (1980).

Panitia penerbitan 75 Tahun Mandirinya Gereja Katolik di Kalimantan Barat (1905-1980).

Sareb Putra, Masri. 2020. Audite Episcopo Tuo. Biografi Mgr. Agustinus Agus. Jakarta: Penerbit Obor.

0 Komentar

Type above and press Enter to search.