Ruang Publik Jürgen Habermas: Diskusi Terbuka tentang Keilahian Yesus dalam Konteks Demokrasi dan Pluralisme

Jürgen Habermas
Visualisasi Ruang Publik Jürgen Habermas oleh AI: keterbukaan dan pertanggungjawaban Iman Kristen

Oleh Dr. RP. Laurentius Prasetyo

Abstract:
Teori Public Sphere Jürgen Habermas menekankan pentingnya diskusi terbuka dan rasional dalam membentuk opini publik di masyarakat demokratis. Dalam konteks ini, pertanyaan tentang keilahian Yesus dapat dipahami melalui lensa Habermas, di mana individu bebas bertukar ide tanpa takut represi dari otoritas pemerintah atau kepentingan pribadi. Komunikasi yang rasional dan argumentatif menjadi fokus dalam public sphere, sehingga diskusi tentang keilahian Yesus harus didasarkan pada argumen logis, bukan prasangka atau dogma tertentu. Perdebatan ini sering kali melibatkan benturan antara perspektif agama dan sekuler, mencerminkan kompetisi berbagai kepentingan di ranah publik. Dengan teori Habermas, mempertanyakan keilahian Yesus di ruang publik mencerminkan dinamika demokratisasi dan pluralisme, di mana ruang publik menjadi arena kritis untuk membentuk pemahaman kolektif tentang isu agama, termasuk inti keimanan Kristen seperti keilahian Yesus.

Pendahuluan

1. Latar Belakang

Frankfurt School, atau Institut Penelitian Sosial Frankfurt, adalah kelompok intelektual yang terdiri dari pemikir seperti Max Horkheimer, Theodor Adorno, dan Herbert Marcuse. Mereka fokus pada analisis kritis terhadap budaya, politik, dan masyarakat modern. Salah satu karya monumental mereka adalah Dialektik der Aufklärung (1944), yang mengkaji perkembangan rasionalitas dan dampaknya pada kehidupan sosial.

Karya ini mengkritik dehumanisasi dalam kapitalisme modern, di mana segala hal menjadi komoditas yang dapat diperdagangkan. Horkheimer dan Adorno menelusuri bagaimana pencerahan (Aufklärung), yang seharusnya membebaskan manusia, justru melahirkan bentuk dominasi dan alienasi baru. Meskipun pencerahan membawa kemajuan teknologi, ia juga menciptakan irasionalitas baru melalui rasionalitas instrumental.

Habermas, sebagai penerus Frankfurt School, mengembangkan konsep Public Sphere (ranah publik), di mana individu dapat bertukar ide secara bebas tanpa tekanan ekonomi atau politik. Konsep ini menjadi sentral dalam memahami dinamika demokrasi modern dan keterbukaan informasi. Dalam karya seminalnya, The Structural Transformation of the Public Sphere (1962), Habermas menganalisis perkembangan ruang publik di Eropa dari abad ke-18 hingga ke-20, menyoroti bagaimana industrialisasi, kapitalisme, dan media massa mengubah struktur diskusi publik.

2. Metodologi

Metodologi yang digunakan dalam artikel ini adalah analisis komparatif antara konsep Public Sphere Habermas dan teori media Marshall McLuhan, dengan fokus pada keterbukaan informasi di era digital. Pendekatan ini melibatkan:

  1. Identifikasi Konsep Terkait: Mengidentifikasi konsep Public Sphere Habermas dan teori McLuhan tentang media sebagai pesan serta ekstensi manusia.
  2. Analisis Perubahan Ruang Publik: Mengkaji bagaimana teknologi informasi dan media sosial mengubah dinamika diskursus publik, termasuk diskusi agama seperti keilahian Yesus.
  3. Penerapan pada Konteks Keilahian Yesus: Mengaplikasikan konsep-konsep ini untuk memahami bagaimana media sosial memengaruhi pertanyaan tentang keilahian Yesus.
  4. Analisis Implikasi: Meneliti dampak sosial, politik, dan agama dari perdebatan ini dalam masyarakat modern.
  5. Teologi Paulus: Menghubungkan teologi Paulus tentang keilahian Yesus dengan dinamika diskusi publik.

Pendekatan ini memungkinkan analisis mendalam tentang hubungan antara ruang publik, media, dan isu agama dalam konteks digital. 

Pembahasan

1. Teori Jürgen Habermas tentang Public Sphere

Teori Public Sphere Habermas adalah konsep kunci yang menggambarkan arena di mana warga negara berdiskusi secara rasional tentang isu publik tanpa campur tangan pemerintah atau kepentingan privat. Dalam konteks keilahian Yesus, teori ini relevan untuk memahami bagaimana pertanyaan agama dapat diperdebatkan secara terbuka dan rasional.

Habermas menekankan komunikasi argumentatif, di mana diskusi harus berbasis logika, bukan dogma atau prasangka. Dalam ranah publik, pertanyaan tentang keilahian Yesus dapat melibatkan benturan antara perspektif agama dan sekuler, mencerminkan pluralisme dan dinamika demokratisasi. Ruang publik menjadi arena kritis untuk membentuk pemahaman kolektif, termasuk tentang inti keimanan Kristen seperti keilahian Yesus.

2. Keterbukaan Informasi dan Teori Media McLuhan

Marshall McLuhan (1964) dalam Understanding Media menyatakan bahwa media bukan hanya saluran informasi, tetapi juga membentuk cara kita memandang dunia. Internet dan media sosial telah mengubah struktur public sphere, memungkinkan diskusi global yang cepat dan terbuka. Namun, media sosial juga menciptakan “gelembung informasi” yang memperkuat pandangan yang sudah ada, sehingga memengaruhi cara individu merespons pertanyaan tentang keilahian Yesus.

Media, sebagai ekstensi manusia, memfasilitasi keterbukaan informasi, tetapi juga memicu konflik dan polarisasi dalam diskusi agama. Platform digital memungkinkan individu menyuarakan pandangan mereka, namun juga meningkatkan risiko intoleransi.

3. Pokok Iman Kristen dan Tantangan di Media Sosial

Keterbukaan informasi di media sosial memungkinkan partisipasi luas dalam diskusi agama, termasuk oleh individu di luar Kristen yang mempertanyakan keilahian Yesus. Fenomena ini mencerminkan kompleksitas public sphere digital, di mana berbagai pandangan bertemu, sering kali memicu konflik.

Kitab Suci, seperti Yohanes 1:1, menegaskan keilahian Yesus: “Pada mulanya adalah Firman, dan Firman itu bersama-sama dengan Allah, dan Firman itu adalah Allah.” Namun, orang di luar Kristen mungkin mempertanyakan aspek ini berdasarkan persepsi mereka, yang dapat memicu dialog tegang.

Orang Kristen dihadapkan pada kebutuhan untuk mempertanggungjawabkan iman mereka, sesuai dengan 1 Petrus 3:15: “Tetapi kuduskanlah Kristus sebagai Tuhan dalam hatimu, dan siap sedia selalu memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi perbuatlah itu dengan lemah lembut dan hormat.” Respons yang lemah lembut dan rasional menjadi kunci dalam menjawab tantangan ini.

4. Implikasi Sosial dan Politik

Pertanyaan tentang keilahian Yesus di ranah publik dapat memengaruhi dinamika sosial, politik, dan agama. Perubahan pandangan agama dapat memengaruhi institusi keagamaan, kebijakan publik, dan hubungan antar-kelompok. Dalam era digital, perdebatan agama di media sosial mempercepat penyebaran ide, tetapi juga meningkatkan risiko polarisasi.

Orang Kristen didorong untuk merespons dengan lemah lembut dan rasionalitas, mencerminkan nilai kasih dan pengertian. Sikap ini memungkinkan dialog konstruktif, bahkan di tengah perbedaan, dan mendukung dinamika sosial yang sehat.

5. Teologi Paulus tentang Keilahian Yesus

Teologi Paulus memberikan landasan kuat bagi keilahian Yesus. Dalam Kolose 1:15-16, Paulus menyatakan: “Dia [Yesus] adalah gambar Allah yang tak terlihat, yang sulung dari segala makhluk; karena oleh Dia telah diciptakan segala sesuatu.” Dalam Filipi 2:9-11, ia menegaskan pengangkatan Yesus sebagai Tuhan yang diakui oleh semua.

Roh Kudus juga berperan dalam membantu umat mengenal kebenaran tentang Yesus (Roma 8:26-27). Teologi ini memperkuat iman Kristen dalam menghadapi tantangan di ranah publik, memberikan argumen teologis yang kokoh untuk mempertanggungjawabkan keilahian Yesus. 

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, berikut adalah empat poin kesimpulan:

  1. Dialog Terbuka dalam Demokrasi: Teori Public Sphere Habermas menegaskan pentingnya diskusi rasional dalam membentuk opini publik. Pertanyaan tentang keilahian Yesus mencerminkan dinamika demokratisasi dan pluralisme.
  2. Peran Media: Teori McLuhan menunjukkan bahwa media sosial membentuk persepsi kolektif, memengaruhi diskusi agama di era digital.
  3. Tantangan Diskusi Agama: Keterbukaan informasi di media sosial memungkinkan partisipasi luas, tetapi juga memicu konflik dan polarisasi.
  4. Respons Rasional dan Empati: Orang Kristen harus merespons tantangan terhadap keilahian Yesus dengan lemah lembut dan rasionalitas, sesuai ajaran 1 Petrus 3:15.

 Daftar Pustaka

  • Horkheimer, Max, dan Adorno, Theodor W. 1947. Dialektik der Aufklärung. Amsterdam: Querido Verlag.
  • McLuhan, Marshall. 1964. Understanding Media: The Extensions of Man. New York: McGraw-Hill.
  • Tarigan, Jakobus, dkk. 2019. Akal Budi dan Iman. Jakarta: Penerbit Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.
  • Telhalia. 2017. Riwayat Hidup Paulus: Sosiologi Dialektika Teologi-Etis menurut Surat Roma. Tangerang: Penerbit An1mage.

Penulis adalah dosen di Sekolah Tinggi Agama Katolik Negeri, Pontianak. Baru menulis dan menerbitkan 5 buku berISBN, antara lain Injil Yohanes dalam Konteks Masa Kini.

0 Komentar

Type above and press Enter to search.