Hutan dan Satwa Pergi, Gereja Katolik Menyimpan Kenangan Terakhir di Tuguk

 

Hutan dan Satwa Pergi, Gereja Katolik Menyimpan Kenangan Terakhir di Tuguk
Warga Tuguk, Sintang ketika banjir menggotong perahu masuk ke tempat lebih dalam menyelamatkan manusia, hewan, dan hata benda. Dokpi.

Oleh RD. Deodatus Kolek

Suatu sore di teras Pastoran Paroki Tuguk, Kayan Hilir, Kabupaten Sintang, saya berbincang dengan beberapa bapak. 

Obrolan mengalir dari topik hutan hingga satwa yang pernah melimpah di sekitar kampung. 

Bagi warga, hutan bukan sekadar sumber kehidupan, tetapi juga bagian dari identitas mereka. Kini, ketika hutan dan satwa kian sulit ditemukan, Gereja Katolik di tengah kampung menjadi satu-satunya tempat yang masih menyimpan foto-foto lama, potongan kayu ulin, dan kenangan akan masa kejayaan alam di Tuguk.

“Dulu,” ujar seorang bapak, “mencari bahan bangunan itu mudah. Tinggal pilih kayu ulin (tebelian), tembesuk, mengkirai, dan jenis lainnya. Batangnya besar-besar, jaraknya pun dekat—cukup dijangkau lewat sungai atau dipikul bersama-sama.”

Kayu itu dibelah dengan gergaji manual. Meski prosesnya berat, kualitasnya teruji. “Lihatlah gereja ini, semua bahannya dari kayu hutan sekitar sini, dan hingga sekarang masih kokoh,” katanya sambil menunjuk bangunan Gereja Katolik yang berdiri di tengah kampung.

Sayur, Buah, dan Lauk yang Melimpah

Mencari sayur untuk acara besar pun dahulu tak sulit. Umbut enak, pakis segar, hingga daun sengkubak mudah didapat di hutan. Saat musim buah, durian, rambutan hutan, kemantan, dan lainnya berlimpah hingga tak habis dimakan.

Lauk pauk juga berlimpah. “Hampir tiap minggu ada yang dapat babi hutan, kijang, rusa, atau pelanduk. Biasanya dibagi gratis ke tetangga,” kenang seorang bapak lain. Suara kelempiau menjadi alarm alami di pagi hari, diiringi kicau burung yang tak henti.

Ikan pun mudah ditangkap. Bubu yang dipasang dekat tempat mandi di sungai cukup untuk sekali makan. Saat kemarau, ikan terlihat jelas di air yang jernih. Rasanya manis dan segar—sering kali menjadi hidangan saat pesta panen di halaman Gereja Katolik.

Kenangan yang Kian Memudar

Ketika saya bertanya, “Sekarang bagaimana, Pak?” mereka menjawab serempak, “Sekarang susah!” Hutan semakin jarang, satwa sulit ditemukan. 

Sawit kini menjadi “hutan” baru, sementara hutan asli hanya tersisa di sekitar bukit batu seperti Bukit Tuguk dan sebagian Bukit Bank.

Banjir menjadi hal yang lebih mudah ditemukan daripada hasil hutan. Semua yang indah kini hanya tinggal cerita. 

Warga berharap yang tersisa bisa dilestarikan, dan kisah-kisah lama tetap diingat. Bahkan, menurut seorang warga senior, Gereja Katolik kini menjadi satu-satunya tempat di kampung yang masih menyimpan foto-foto lama tentang hutan rimba dan sungai yang jernih.

Kesaksian dari Abad ke-19

Kisah warga Tuguk sejalan dengan catatan P.J. Veth, peneliti Belanda abad ke-19. Dalam bukunya yang terbit tahun 1854, ia menggambarkan Borneo sebagai surga hijau dengan sungai berkelok, hutan lebat, dan satwa berwarna-warni.

Ia menulis tentang hutan yang menutupi hampir seluruh pulau, membuat udara sejuk. Tepi laut dipenuhi tumbuhan paku, pohon nipah, dan bunga aneka warna. Sulur tanaman membentuk hutan rapat, dihiasi kantung semar yang menampung air. Ikan-ikan berwarna cerah berenang di antara karang dan rumput laut, seindah burung nuri di hutan.

Menurut Veth, Borneo memiliki semua jenis tanaman bernilai di Nusantara. Namun kekayaan itu tidak datang begitu saja; manusia harus mengolahnya. 

Bila dikelola bijak, Borneo pantas disebut the emerald gem of the eastern world. Catatan ini seolah menggemakan khotbah seorang pastor Gereja Katolik yang kerap mengingatkan umat untuk menjaga alam sebagai anugerah Tuhan.

Salam Rindu untuk Alam

Kisah para bapak di Tuguk dan kesaksian Veth memberi gambaran betapa kaya alam Kalimantan di masa lalu. Kini, yang tersisa hanyalah sebagian kecil dari keindahan itu. 

Semoga cerita dan ingatan ini menjadi alasan kuat untuk menjaga hutan, sungai, dan satwa yang masih bertahan. Sebab, seperti diungkapkan dalam homili Minggu di Gereja Katolik Paroki Tuguk, menjaga alam sama artinya dengan menjaga kehidupan itu sendiri.

Penulis adalah pastor diosesan Keuskupan Sintang, pegiat literasi, kini sedang studi lanjut di Bandung.

 

0 Komentar

Type above and press Enter to search.