Gerimis Kecil di Malam Natal
Malam Natal yang mempertemukan Mei Hwa dan Romo Angga. Ilustrasi by AI. |
Malam itu gerimis menitis. Jatuh ke bumi. Kecil-kecil.
Seperti rahasia. Atau air mata yang malu-malu jatuh dari
talang-talang langit surga. Bukan tangis. Hanya tetes-tetes kecil. Tak kentara.
Tapi menusuk. Pas di Malam Natal.
Dan Angga... muncul begitu saja. Di tengah kabut hujan.
Tanpa suara. Tanpa aba-aba. Seperti doa yang lupa ditutup “amin” lalu jadi
manusia.
Ia tidak banyak bicara. Tapi setiap katanya seperti titik.
Titik akhir. Tak perlu koma. Tak perlu ulang. Seolah semesta mendadak diam tiap
kali ia membuka mulut.
Pikirannya seperti jarum jam Swiss. Presisi. Tidak lebih
satu detik. Tidak kurang satu napas.
Ganteng? Jangan bahas. Teman-temannya sering
menyeringai: "Kalau Angga ke bank, yang deg-degan bukan teller...
tapi brosur pinjaman rumah!"
Tapi Mei Hwa tidak jatuh cinta pada wajah.
Ia jatuh pada... cara Angga menunduk ketika doa. Pelan.
Dalam. Seolah bumi mendadak berhenti berputar menunggu dia selesai. Pada
caranya menyentuh tuts organ tua seperti sedang membalut luka. Pada cara ia
menatap nasabah lansia seolah sedang menatap ibunya yang lupa hari ulang tahun
sendiri.
Cinta itu tumbuh seperti cendawan. Diam. Lembab. Tapi tak
bisa dihentikan.
Dan seperti semua cinta yang tidak punya nyali, ia memilih
diam. Mei Hwa hanya menjadi bayang-bayang. Akar yang tak ingin jadi batang.
Tapi menopang.
Pernah suatu malam, kantor sunyi. Komputer sudah mati. AC
tinggal sisa dengung. Listrik seperti sedang ragu mau padam atau hidup. Dan
ia... nekat.
“Kamu ke mana, Ga?”
“Gereja. Latihan koor.”
“Sendiri?”
“Selalu.”
Diam.
Lift menutup. Cermin lift menampilkan wajah Angga. Cermin
itu berkhianat. Karena ia menyimpan wajah yang tidak bisa dilupakan. Saat pintu
lift benar-benar menutup, Mei Hwa tahu: malam itu ia kalah. Bukan oleh
perempuan lain. Tapi oleh Tuhan.
Dan Tuhan, seperti biasa... menang.
***
Beberapa minggu kemudian....
Dunia berubah arah. Jakarta tetap macet, tapi langitnya tak
sama. Angga—berita itu datang seperti petir yang tidak menunggu
awan—mengundurkan diri. Bukan ke bank lain. Bukan karena promosi. Tapi...
“Masuk seminari,” kata bosnya. Lirih. Seperti takut doanya
ikut didengar.
Pastor!
Mei Hwa tidak menangis. Tidak sempat. Dunia terlalu cepat
berputar. Ia hanya... menggigil. Seperti tubuhnya tahu sesuatu yang pikirannya
belum sempat pahami.
"Aku rasa aku tahu," katanya ke sahabatnya.
Padahal tidak.
Hari-hari berjalan seperti sandal jepit basah. Sunyi. Tapi
ada suara. Ada gema. Bukan kosong. Hanya... canggung.
Mei Hwa tidak marah. Ia justru malu. Karena mencintai
seseorang yang ternyata sudah lama lebih dulu dimiliki Tuhan.
Dan ia tahu, sejak malam itu: ia tidak akan menikah.
Ia mencintai Angga. Tapi lebih dari itu, ia mencintai
pilihan Angga. Maka ia ikut mencintai... dengan cara lain. Ia menyumbang
diam-diam ke panti asuhan. Setiap bulan. Sepertiga gajinya. Tak pernah lewat.
Tak pernah disebut.
Cinta itu... berubah bentuk. Jadi senyap.
***
Tahun ke-15. Misa Natal. Gerimis. Lagi-lagi gerimis. Jakarta
seperti belum selesai menangis sejak Angga pergi.
Mei Hwa ke panti asuhan. Tidak tahu kenapa. Kakinya yang
pergi duluan. Hatinya menyusul kemudian. Ia duduk di kapel kecil. Wangi dupa
dan bunga. Anak-anak bernyanyi seperti malaikat yang belum tahu surga itu di
mana.
Lalu... dia muncul.
Pastor Angga. Jubah hitam. Wajah tua sedikit. Tapi...
cahayanya masih sama.
Waktu... patah.
Deg!
Tubuh Mei Hwa seolah jadi menara yang goyah. Tapi ia tidak
roboh. Ia hanya diam. Menatap. Napas seperti lupa caranya keluar.
Firman dibacakan. Komuni dimulai.
Ia maju. Satu langkah. Dua langkah. Langit turun sedikit.
"Tubuh Kristus!"
Tangan Angga menyentuh tangannya.
Pandangan mereka bertemu. Waktu berhenti. Lagi.
Tidak ada yang berkata apa-apa. Tapi sesuatu sudah
dipindahkan. Dari mata ke hati. Dari hati ke langit. Dari langit ke sunyi.
Malam itu, Mei Hwa tahu. Cinta ini tidak untuk dimiliki.
Tapi untuk... dipersembahkan.
***
Selesai misa.
Pastor Angga berdiri di pintu. Menyalami umat satu-satu.
Ketika giliran Mei Hwa, tak ada suara. Hanya senyum. Hanya
mata yang saling bercerita. Panjang. Tanpa bab. Tanpa halaman.
Lalu ia keluar.
Hujan turun. Lagi.
Tapi malam itu... tidak dingin.
Mei Hwa menengadah. Mengatupkan mata. Bibirnya gemetar. Tapi
senyumnya... utuh.
"Ini, Tuhan... persembahanku."
Jakarta. Malam Natal. Gerimis kecil-kecil. Dari langit yang
tak pernah lupa.*)
Jakarta, 01 Juli 2025
0 Komentar