Flores dalam Lintasan Sejarah Gereja Katolik Indonesia

 

Flores dalam Lintasan Sejarah Gereja Katolik Indonesia
Flores menyumbangkan penganut Katolik mayoritas di Indonesia.  Sumber gambar: https://sultansinindonesieblog.wordpress.com

Oleh Rev.Mikael Dou Lodo, S.T.L.

Flores saat ini dikenal sebagai "lumbung Katolik" yang memberikan kontribusi sekitar 35 persen kepada total jumlah lebih dari 8 juta Katolik di Indonesia.

Dengan populasi umat Katolik di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT), di mana Flores menjadi pusat utama, mencapai sekitar 3 juta jiwa dari total 5,6 juta penduduk provinsi tersebut, pulau ini menjadi simbol ketangguhan iman di tengah keragaman Indonesia.

Dalam hal ini, menarik untuk melihat sekilas sejarah Katolik di Nusa Bunga (julukan Flores yang berarti "pulau bunga" dalam bahasa Portugis), yang telah membentuk identitas spiritual masyarakatnya hingga hari ini.

 
Awal Kedatangan Portugis dan Penyebaran Awal (Abad 16-18)

Sejarah Gereja Katolik di Flores dimulai pada abad ke-16, seiring dengan ekspedisi Portugis ke Kepulauan Nusantara dalam pencarian rempah-rempah. 

Pada tahun 1511, Portugis pertama kali tiba di Solor, pulau kecil di dekat Flores timur, dan mulai melakukan perdagangan serta misi evangelisasi. Misionaris dari Ordo Dominikan, yang mendampingi para saudagar Portugis, memulai baptisan massal di wilayah Solor dan Larantuka pada sekitar tahun 1534. Lokasi utama adalah Larantuka, yang menjadi pusat perdagangan dan misi awal, dengan penduduk asli yang sebagian besar beragama animisme mulai menerima ajaran Katolik.

Tokoh kunci pada periode ini adalah para misionaris Dominikan seperti yang disebutkan dalam catatan sejarah Portugis, meskipun nama spesifik seperti Pastor Antonio Taveira sering dikaitkan dengan baptisan awal di Solor sekitar 1560-an. Peristiwa penting terjadi pada 1546-1547 ketika Santo Fransiskus Xaverius, salah satu pendiri Ordo Jesuit, mengunjungi wilayah Maluku dan sekitarnya, termasuk pengaruh tidak langsung ke Flores melalui misi di Ambon dan Ternate. 

Xaverius membaptis ribuan orang dan mendirikan fondasi misi permanen, yang mempercepat penyebaran Katolik ke Flores timur. Pada akhir abad ke-16, populasi Katolik di Solor dan Flores diperkirakan mencapai 25.000 jiwa, dengan gereja-gereja sederhana dibangun dari bahan lokal di Larantuka dan Sikka.

Namun, tantangan muncul pada awal abad ke-17 ketika VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) Belanda menguasai Ambon pada 1605 dan Solor pada 1613. Belanda, yang mayoritas Protestan, membatasi aktivitas Katolik secara ketat, memaksa misionaris Portugis mundur.

Di Flores, yang tetap di bawah pengaruh Portugis hingga 1851, umat Katolik bertahan tanpa pendeta resmi selama hampir 200 tahun. Mereka menjaga iman melalui doa keluarga dan tradisi lisan, seperti Semana Santa (Pekan Suci) di Larantuka yang masih dilestarikan hingga kini. Peristiwa ini dikenal sebagai "masa tanpa misionaris," di mana umat di Flores timur, khususnya Larantuka, menjadi saksi ketangguhan iman Katolik di tengah penindasan kolonial. 

Pada 1630, misi Dominikan sempat mencoba bertahan di Solor, tetapi konflik dengan Belanda menyebabkan banyak umat pindah ke Timor atau bersembunyi di pedalaman Flores. Tokoh lokal seperti Raja Larantuka, yang sering disebut sebagai Don Gaspar da Costa pada abad ke-17, memainkan peran dalam melindungi komunitas Katolik dari serangan Belanda.

Hingga abad ke-18, Flores tetap terisolasi, dengan Katolik terpusat di pantai timur, sementara pedalaman seperti Manggarai dan Ngada masih didominasi animisme. Periode ini mencakup sekitar 200 tahun ketahanan, dengan peristiwa kunci seperti pembangunan gereja kayu pertama di Larantuka sekitar 1700-an oleh misionaris Jesuit yang diam-diam datang dari Makau.


Kebangkitan Misi di Abad 19 dan Awal Abad 20

Pada pertengahan abad ke-19, Gereja Katolik di Flores mengalami kebangkitan signifikan setelah periode stagnasi. Pada 1851, Flores secara resmi lepas dari pengaruh Portugis dan masuk ke wilayah Hindia Belanda melalui perjanjian Lisbon. Ini membuka jalan bagi misi baru, terutama setelah Perjanjian 1859 antara Belanda dan Portugal yang menjamin kebebasan beragama bagi umat Katolik di Flores dan Timor. Lokasi utama adalah Larantuka, yang menjadi basis misi Jesuit dari Belanda. 

Pada 1853, Pastor Jesuit pertama tiba, dan mulai membangun sekolah serta gereja di wilayah timur Flores. Tokoh penting adalah Pastor JF Engbers D'Armanddaville, seorang misionaris Portugis yang membangun Gereja St. Ignatius Loyola di Sikka pada 1893, menggabungkan arsitektur Eropa dengan elemen lokal Flores seperti ukiran kayu tradisional. Peristiwa ini menandai penetrasi Katolik ke Flores tengah, dengan baptisan massal di Sikka dan Ende.

Pada akhir abad ke-19, misi meluas ke pedalaman. Pada 1890-an, Jesuit mendirikan misi di Ende, yang menjadi pusat pendidikan Katolik. Peristiwa kunci adalah kedatangan Serikat Sabda Allah (SVD) dari Jerman pada 1913, yang mengambil alih misi di Flores tengah dan barat. SVD mendirikan Prefecture Apostolic of Isole della Piccola Sonda pada 16 September 1913, mencakup Flores dan pulau sekitarnya, dari Vicariate Apostolic of Batavia. Tokoh SVD seperti Pastor Heinrich Leven, yang menjadi Prefek Apostolik pertama, memimpin ekspansi ini. Pada 1914, wilayah diperluas untuk mencakup seluruh Flores.

Di Manggarai barat, Pastor Eickman dari Jerman membangun Gereja Tua Rekas pada 1925, gereja pertama di wilayah itu, yang menjadi saksi masuknya Katolik ke Flores barat. Periode ini juga melihat pendidikan sebagai alat misi; SVD membangun seminari di Ledalero pada 1937 untuk melatih imam lokal. Umat Katolik tumbuh pesat dari 27.000 pada 1902 menjadi hampir 550.000 pada 1942, terutama di Flores di mana Katolik menjadi mayoritas. Tantangan termasuk konflik dengan animisme lokal, tetapi inkulturasi seperti penggunaan bahasa daerah dalam liturgi membantu penyebaran.


Pembentukan Struktur Gereja dan Pertumbuhan di Masa Kolonial (1913-1945)

Periode 1913-1945 melihat pembentukan struktur gereja formal di Flores di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Prefecture Apostolic elevated menjadi Vicariate Apostolic of Isole della Piccola Sonda pada 12 Maret 1922. Tokoh utama adalah Uskup Arnold Verstraelen SVD, yang memimpin vicariate pertama.

Pada 1936, wilayah dibagi, kehilangan bagian Timor ke Vicariate Apostolic of Timor Olandese. Di Flores, fokus pada Ende sebagai pusat, dengan pembangunan katedral di sana pada 1920-an. Peristiwa penting adalah pendirian vicariate baru pada 1951, meskipun ini pasca-kolonial: Vicariate Apostolic of Ruteng untuk Manggarai, Larantuka untuk timur, dan Ende untuk tengah. Lokasi seperti Maumere menjadi pusat misi SVD, dengan Pastor Longinus da Silva sebagai imam lokal pertama yang ditahbiskan pada 1930-an.

Selama masa ini, gereja terlibat dalam pendidikan dan pembangunan. SVD membangun sekolah di Ngada dan Ende, mendidik ribuan anak Flores. Pada 1940-an, pendudukan Jepang (1942-1945) membawa tantangan; banyak misionaris SVD ditangkap atau dibunuh, seperti di Ledalero. Namun, umat lokal seperti di Larantuka mempertahankan tradisi Semana Santa, yang menjadi simbol perlawanan spiritual. Pertumbuhan demografis mencolok: Pada 1940, 80% penduduk Flores adalah Katolik, dengan 81 paroki pada 1970. Tokoh seperti Pastor Gabriel Manek SVD, yang menjadi uskup pertama asli Indonesia di Ende pada 1951, mewakili transisi ke kepemimpinan lokal.


Perkembangan Pasca-Kemerdekaan hingga Modern (1945-Sekarang)

Pasca-kemerdekaan Indonesia pada 1945, Gereja Katolik di Flores berkembang pesat sebagai bagian dari Gereja nasional. Vicariate Apostolic of Endeh elevated menjadi Archdiocese of Ende pada 3 Januari 1961, dengan Uskup Gabriel Manek sebagai uskup agung pertama. Pada 1959, kehilangan Sumba dan Sumbawa ke Prefecture Apostolic of Weetebula, dan pada 2005, bagian timur menjadi Diocese of Maumere. Lokasi utama termasuk Ende sebagai ibu kota keuskupan agung, dengan katedral yang menjadi pusat ziarah. Tokoh modern seperti Uskup Vincentius Sensi Potokota, uskup agung Ende saat ini, memimpin inisiatif sosial.

Periode ini mencakup peran gereja dalam pembangunan nasional. Pada 1965-1966, selama pembantaian anti-komunis, banyak umat Katolik di Flores menjadi korban dan pelaku, menyebabkan trauma yang masih dibahas hingga kini. Gereja mendukung pendidikan, dengan seminari Ledalero melatih ratusan imam. Pada 1980-an, inkulturasi semakin kuat, seperti penggunaan adat Manggarai dalam liturgi.

Tantangan baru muncul pada 2020-an, seperti konflik agraria di mana gereja dituduh merebut tanah adat untuk proyek pertanian. Namun, Flores menjadi pusat wisata rohani, dengan lebih dari 2.700 gereja dan situs seperti Gua Maria Lourdes di Larantuka. 

Saat ini, sekitar 55% penduduk East Nusa Tenggara adalah Katolik, dengan Flores sebagai "Pulau Misionaris." Peristiwa terkini termasuk rencana Flores sebagai pusat ziarah internasional pada 2024, didukung oleh Paus Fransiskus. Gereja terus berkontribusi pada pelestarian budaya, seperti dalam teologi inkulturasi.

0 Komentar

Type above and press Enter to search.